Salam sejahtera di bulan empat 2012, Sidang Pembaca!
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per tahun 2011 ada 30,018 juta orang miskin di Indonesia. Informasi itu mungkin bukan hal baru bagi banyak orang Indonesia. Sayangnya, tanggapan kita, khususnya umat Kristen, masih minim sekali. Kesigapan kita agaknya sudah surut karena tersedot pekerjaan dan pelayanan gerejawi. Tak ada ruang untuk memikirkan, apalagi menanggapi, kemiskinan.
Umat Kristen tak seharusnya santai saja melihat kemiskinan lengket pada bangsanya. Dalam rangkaian tulisan bulan ini, lima orang peladang (yaitu penulis) mendesak kita untuk membuka mata dan sigap menanggapi kemiskinan.
Menyitir amsal Raja Salomo, S.P. Tumanggor mengingatkan kita bahwa orang Kristen (di samping pejabat dan masyarakat selebihnya) haruslah menjadi sahabat bagi kaum miskin, bukan malah meninggalkan mereka. Namun ia mendapati orang Kristen acap kali berlaku sebaliknya. Tiga “bukti” tentang hal itu diuraikan dalam tulisannya untuk mendorong kita memeriksa dan mengubah diri.
Efraim Sitinjak menyoroti perintah Allah agar umat-Nya menyejahterakan “kota” atau—secara lebih luas—“daerah” tempat mereka berada. Sedihnya, daerah-daerah yang memiliki banyak penduduk Kristen di Indonesia malah tergolong termiskin. Potensi alamnya tak terkelola dan rakyatnya masih berkutat dengan masalah ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Umat Kristen, terutama para dermawan Kristen, dipanggil untuk tak berdiam diri melihat kondisi tersebut.
Salah satu sebab gereja-gereja di Indonesia abai terhadap isu kemiskinan adalah berjangkitnya paham “Goberisme.” Rudy Tjandra mengupas bagaimana paham ini membuat banyak gereja mengesampingkan Hukum Kasih kedua, “kasihilah sesamamu manusia.” Akibatnya, gereja-gereja “asyik sendiri” dan melalaikan tanggung jawab sosialnya. Paham ini harus didobrak agar Gereja Indonesia dapat menjalankan Hukum Kasih dengan seimbang.
Cara lain yang dapat kita lakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah berderma dengan teknologi. Teknologi bisa menyejahterakan masyarakat, namun akses luas terhadap teknologi masih jadi milik minoritas penduduk dunia. Victor Samuel menyerukan pengembangan teknologi tepat guna yang “merakyat” untuk mengurai banyak permasalahan yang telah lama membelenggu rakyat kecil.
Manihar Sibuea mengajak kita menengok salah satu kanvas kemiskinan yang terpampang di sebuah kota besar di Indonesia. Banyaknya kanvas macam itu menunjukkan gagalnya tujuan berbangsa, yakni menyejahterakan rakyat. Betapa lagu “Rayuan Pulau Kelapa” terdiam di depan semua kanvas itu! Di tengah keadaan demikian, kita semua selalu dapat melakukan satu tindakan: berderma—hal yang mudah dilaksanakan, asal ada kemauan.
Sungguh banyak yang dapat dikerjakan umat Kristen untuk menghalau kemiskinan! Sikap santai-saja melihat kemiskinan mencekik rakyat kecil harus ditinggalkan. Ulurkanlah tangan. Lakukanlah sesuatu untuk mereka yang papa. Sigaplah menanggapi kemiskinan.
Selamat Ber-UBI
Penjenang Kombi
Pemindahan komentar dari
Morentalisa | morentalisa@gmail.com | http://www.merekamkenangan.wordpress.com
pada 2012/04/17 pukul 11:55
Kemiskinan merupakan wajah yang tak berubah di sepanjang masa. Dari masa raja-raja, orang-orang tertinggal dan tersisihkan dari proses pembangunan selalu ada. Dia ada pula dimana-mana, bahkan di negara sekuat dan sekaya Amerika Serikat pun, orang-orang miskin tetap jadi masalah dan tetap jadi tantangan bagi pemerintah mereka.
Apakah Kekristenan alpa dalam menanggapi kemiskinan? Hmphh, mungkin ini bisa jadi perdebatan panjang. Tetapi sungguh terberkati akan Kombi edisi kali ini yang berupaya untuk memperhatikan mereka yang terpinggirkan dan berupaya mendorong kaum muda Kristen untuk ambil bagian dalam proses pengentasan kemiskinan. Benar-benar berharap, bahwa segala ide dan keluhan yang dituang di sini tidak hanya berhenti dalam bentuk tulisan belaka, tetapi berubah menjadi rangkaian aksi nyata.
Akhir kata (ahey), seperti diskusi pribadi dengan bang Sam, kombi memang selalu bagus pisan! 🙂