Galeri Potret Pendidikan Nusantara

Salam Sejahtera di bulan lima, Sidang Pembaca!

Hari Pendidikan Nasional baru saja kita peringati tanggal 2 Mei 2012 lalu. Kerinduan akan sebuah sistem pendidikan yang mumpuni sudah lama disuarakan berbagai kalangan, tapi mewujudkan hal tersebut rupanya bukan perkara mudah. Karena memiliki suku-suku yang begitu beragam dan wilayah nan amat luas, bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan khas di bidang pendidikan.

Lewat rangkaian tulisan bulan ini, Komunitas Ubi mencoba mengulas sebagian dari tantangan tersebut. Enam orang peladang (yaitu penulis) memotret isu-isu pendidikan dari berbagai sudut bidik dan menggelar suatu galeri potret pendidikan Nusantara.

Amin Maggang memajang potret pertama dengan latar pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Keengganan banyak guru untuk mengajar di pelosok menjadi salah satu penyebab pendidikan di daerah terseok. Belum lagi sebagian guru menunjukkan kinerja yang buruk. Andai mereka ini setia kepada sumpah guru, tentu hal-hal semacam itu tidak akan terjadi. Sebaliknya, pendidikan daerah, bahkan bangsa, akan maju.

Dari NTT kita berpindah ke Kalimantan Barat. Hariya Oktaviany mengisahkan bagaimana beasiswa instansi pemerintah yang ditujukan bagi anak “tak mampu” malah dinikmati oleh mereka yang “mampu.” Bak lelang, siapa bisa sediakan uang lebih banyak waktu mendaftar, dialah yang mendapatkan beasiswa. Praktik ini jelas merusak: mengajar anak bermental asal-punya-uang-semua-bisa-didapat dan memberangus peluang sekolah kalangan “tak mampu.”

Rinto Tampubolon terkejut ketika mengikuti pelatihan pendidikan di Jawa Tengah. Ia melihat kesenjangan pendidikan di Jawa dan di Sumatera Utara, daerah asalnya. Di Jawa, fasilitas yang baik dan para pendidik yang “karib” dengan mahasiswa membuat suasana belajar sangat kondusif. Di luar Jawa, kualitas pendidikan seperti ini terkadang masih sukar ditemukan. Ia pun berharap agar pendidikan di seluruh daerah Indonesia bisa (setidaknya) menyamai pendidikan di Jawa.

Selanjutnya, galeri potret kita diperkaya dengan potret pendidikan di kalangan orang Tionghoa. Viona Wijaya menyoroti keberadaan sekolah-sekolah “homogen” yang dapat membuat anak-anak Tionghoa gagap menghadapi kemajemukan. Indonesia yang majemuk dan toleran hanya ada dalam bayangan, namun tidak dalam kenyataan. Jika tidak disikapi dengan baik dan bijak, kehomogenan tentu dapat membahayakan kehidupan berbangsa.

Efraim Sitinjak membawa kita melihat semangat mengejar pendidikan yang dimiliki suku Batak. Sikap mementingkan pendidikan bahkan terungkap dalam lagu-lagu Batak! Semangat ini tentulah baik untuk ditiru seluruh warga Indonesia dari suku manapun. Kondisi sulit tak boleh mematahkan semangat berpendidikan, sebab pendidikan berperan penting untuk membangun manusia dan bangsanya.

Potret terakhir dipajangkan oleh S.P. Tumanggor. Sekolah dengan bahasa pengantar Inggris dielu-elukan di tanah air dan diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang bersaing secara internasional. Ironisnya, pakar asal Inggris sendiri meneliti dan menandaskan bahwa kemajuan bangsa malah bisa terhambat apabila bahasa ibu tidak dijadikan bahasa pengantar pendidikan. Kesetiaan kepada bahasa nasionallah yang rupanya membawa kemajuan bangsa.

Galeri potret pendidikan di atas memang hanya memberi kita sebagian gambaran tentang isu-isu pendidikan di Nusantara. Tapi semua itu tentu dapat menjadi penggugah bagi perbaikan pendidikan bangsa Indonesia. Ragam masalah yang membuat potret-potret berwarna sendu perlu segera ditanggapi oleh seluruh pihak: pemerintah, pendidik, murid, orang tua murid, dan masyarakat luas. Sembari membaca, mari memikirkan hal yang bisa kita lakukan, sesederhana apa pun, untuk membantu agar potret pendidikan Nusantara berwarna lebih cerah di kemudian hari.

Selamat ber-Ubi!

Penjenang Kombi

4 thoughts on “Galeri Potret Pendidikan Nusantara

  1. lody f paat

    Selamat untuk teman-teman di UBI yang sudah menciptakan ruang ini. Jangan lupa! Praksis=Refleksi+AKsi (Paulo Freire)

    Reply
    1. komunitasubi

      Terima kasih atas apresiasinya dan pengingatannya. Kami memandang penulisan (atau tindakan menuliskan ide/kajian/refleksi) merupakan aksi juga, yang bisa mengilhamkan atau mencetus rupa-rupa aksi di pihak para pembaca blog Kombi. 🙂

      Reply
  2. daniel

    Seharusnya kesejahteraan guru diperhatikan
    karena berhubungan dengan kinerja nya juga
    gaji guru yang sangat kecil, bahkan gajian pun ada yang 3 bulan sekali
    sangat memprihatinkan…

    Reply
  3. nevi

    Moga makin banyak guru-guru cerdas dan kreatif yang mengabdi dengan sepenuh hati di negara kita

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *