Acap Lalai Ber-“Satu Kata, Satu Perbuatan”

Salam sejahtera di bulan sepuluh 2013, Sidang Pembaca!

“Satu kata, satu perbuatan” adalah semboyan yang baik dan berfaedah bagi kehidupan. Ditegaskannya secara ringkas bahwa apa yang kita katakan mestilah selaras (“satu”) dengan apa yang kita perbuat. Jika kita hanya tahu bicara tanpa melaksanakannya, hidup pribadi dan hidup berbangsa kita akan terimbas banyak dampak negatif. Sedihnya, itulah yang sering terjadi di Indonesia.

Memperingati 85 tahun Sumpah Pemuda, Komunitas Ubi (Kombi) tergugah untuk menyingkap bagaimana kita acap lalai ber-“satu kata, satu perbuatan,” istimewanya dalam kaitan dengan ikrar luhur itu. Lima peladang mengutip beberapa pemeo yang punya sangkut-paut dengan Sumpah Pemuda lalu membeberkan kontrasnya dengan kenyataan hidup mutakhir di Indonesia.

Banyak dari kita mudah terharu-biru di alunan kidung agung karya Ibu Sud yang memuat perkataan “tanah airku tidak kulupakan.” Namun, seperti dituturkan Viona Wijaya, betapa seringnya perilaku kita menunjukkan bahwa kita malah melupakan tanah air. Kita bersikap abai terhadap kerusakan lingkungannya dan tidak memacu diri untuk mengelola kekayaan alamnya sebaik-baiknya demi kemakmuran bersama.

“Nenek moyangku orang pelaut” terus dikumandangkan sebagai seruan kebanggaan putra-putri Indonesia. Namun, seperti dipaparkan Efraim Sitinjak, kinerja kebaharian kita hari ini amat bertolak belakang dengan pembanggaan keunggulan leluhur kita di perairan luas masa lampau. Sistem transportasi laut kita tidak efektif, sumber daya laut gagal kita manfaatkan semaksimal mungkin, dan industri pelayaran kita tetap terpuruk.

Cakar Garuda Pancasila mencengkeram erat pita bertuliskan semboyan pemersatu bangsa, “Bhinneka Tunggal Ika.” Namun, seperti dikemukakan Victor Samuel, mencuatnya gejala-gejala pementingan golongan—suku atau agama—di Indonesia masa sekarang bergesekan keras dengan slogan agung itu. Nafsu memajukan suku atau agama tanpa mengindahkan konteks ke-bhinneka-an jelas menggerogoti hal yang membesarkan bangsa Indonesia: persatuan dalam keberagaman.

I love Indonesia” adalah ungkapan rasa yang kerap diutarakan lewat berbagai sarana dan media. Rasa itu agung, dan Indonesia memang butuh cinta tulus dari semua warganya. Namun, seperti dicermati Lasma Panjaitan, cinta kepada Indonesia seharusnya mencakup cinta kepada bahasa Indonesia pula. Sungguh ironis bahwa kita, di hadapan orang-orang sebangsa kita sendiri, menyatakan cinta kepada Indonesia dengan bahasa asing.

Di dunia sulap atau sihir dalam dongeng, mantera “abrakadabra” mungkin manjur untuk mewujudkan sesuatu lewat perkataan belaka. Namun, seperti dikupas S.P. Tumanggor, di dunia nyata pola pikir “abarakadabra” menjadi tulah yang menjauhkan kita dari kemajuan. Seluhur apa pun ikrar seperti Sumpah Pemuda serta slogan-slogan yang bertalian dengannya, semua itu tidak akan mujarab untuk menjayakan bangsa jika kita terlelap dalam anggapan asal-sudah-diucap-maka-sudah-terjadi.

Suratan “satu kata, lain perbuatan” haruslah kita hapuskan dari loh kalbu kita. Sebagai gantinya, kita ukirkanlah “satu kata, satu perbuatan.” Jika 85 tahun lalu anak-anak Nusantara mengucap ikrar dan berjuang keras untuk melaksanakannya sehingga Indonesia Raya mewujud, maka saat ini pun kita tak bisa lalai menambahkan ikhtiar kepada segala pemeo bagus yang telah kita gubah. Dengan begitu, “satu kata, satu perbuatan” akan mengantar kita kepada perwujudan kejayaan bangsa.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

One thought on “Acap Lalai Ber-“Satu Kata, Satu Perbuatan”

  1. Pingback: Kaki Beralas “Bhinneka Tunggal Ika” « utuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *