Aksara Sunda

Oleh Daniel Siahaan

Orang Sunda secara kreatif memodifikasi aksara Pallawa menjadi aksara milik mereka sendiri, yaitu apa yang biasa disebut “aksara Sunda Kuna.” Mereka membuat modifikasi huruf yang lebih menyerupai bentuk persegi bersiku-siku runcing dengan sebagian bercampur bentuk bundar.1

Aksara Sunda Kuna digunakan pada abad ke-14 sampai ke-18, lalu sempat terkena pengaruh aksara Jawa. Akibatnya, terbentuklah aksara baru yang bernafaskan Jawa-Sunda dan dikenal dengan sebutan Cacarakan. Pada tahun 1990-an orang Sunda menghidupkan kembali aksara khas mereka dengan apa yang disebut “aksara Sunda Baku”—tidak sama persis dengan aksara Sunda Kuna.2

Mereka yang terlibat dalam proses pembakuan itu tentu berharap aksara Sunda tidak sekadar jadi ornamen atau penghias belaka. Bagaimana tidak, sekarang orang Sunda (bersama semua orang Indonesia lainnya) sudah menuliskan segalanya dalam aksara Latin, dengan akibat telantarnya aksara Sunda (dan aksara-aksara Nusantara lainnya).

Pada masa kini orang Indonesia umumnya hanya berpikir sebatas “aksara warisan leluhur harus dilestarikan,” tetapi tidak mau cari tahu lebih lanjut tentang aksara itu. Padahal, kalau kita mengetahui hebatnya warisan itu, kita bisa lebih bersemangat melestarikannya. Karena itu, baik sekali jika sekarang kita tilik bagaimana aksara Sunda diwariskan oleh para leluhur.

Aksara Sunda Kuna biasa dituliskan pada prasasti, tetapi lebih banyak dalam lembaran-lembaran rontal. Rontal adalah media dari daun (ron) palem tal (sekarang lebih sering disebut lontar). Membuat satu lembar rontal yang siap ditulis tidaklah mudah. Selama tujuh bulan rontal dikeringkan, direbus, dipres, dilubangi, dan dicat bagian pinggirnya.

Untuk menuliskan aksara Sunda di atas rontal dibutuhkan pisau khusus yang disebut peso pangot. Selanjutnya, rontal diolesi jelaga dari kemiri supaya aksaranya terlihat jelas. Lembaran rontal yang isinya saling berhubungan diikat dengan sebuah tali menjadi satu naskah. Naskah ini disebut kropak, masing-masing ditandai dengan nomor.3

Isi kropak juga tidak “sembarangan.” Kropak 420, misalnya, berisi konsep kosmologi Sunda.4 Kropak 630 memuat sistem pemerintahan, kepercayaan, kebudayaan, kesusastraan, pertanian, dan kemiliteran masyarakat Sunda masa lampau.5 Kropak 632 berisi ajaran moral dan etika orang Sunda.6 Demikianlah caranya aksara Sunda, yang dipakai untuk menuliskan berbagai hal penting, diwariskan turun-temurun.

Betapa hebatnya leluhur orang Sunda! Aksara bangsa lain mereka modifikasi jadi aksara khas milik sendiri—kekreatifan yang hebat! Daun palem mereka olah berbulan-bulan lalu mereka tulisi dengan cermat dan berhati-hati—ketekunan yang besar! Ide, ilmu, dan pengalaman mereka abadikan lewat aksara supaya dapat dipelajari generasi penerus—kecendekiaan yang rancak! Segala karakter itu tak boleh hilang dari generasi kita. Justru dengan berbagai kemudahan teknologi, kita harus bisa lebih kreatif, tekun, dan cendekia dalam berkarya, khususnya berkarya tulis!

Sebagai warisan budaya yang begitu berharga, aksara Sunda jangan sampai lenyap dari bumi Indonesia. Generasi demi generasi orang Sunda perlu diperkenalkan kepada pusaka berharganya sendiri. Barangkali aksara Sunda perlu mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Tanah Sunda. Upaya kreatif untuk memasyarakatkan aksara Sunda perlu terus digalakkan untuk memperkuat upaya-upaya serupa yang telah dilakukan: lukisan kaligrafi Sunda, pembubuhan aksara Sunda di pelang nama jalan, pendigitalan aksara Sunda, dll.

Sebagai bangsa Indonesia, segenap warga Nusantara, bukan hanya orang Sunda, turut mewarisi aksara Sunda. Maka baiklah kita semua berbangga karenanya, ikut melestarikannya, dan menghidupi pelajaran agung yang berkaitan erat dengannya: kreatif, tekun, cendekia.

Catatan

1 “Aksara Sunda (Ngalagena); Sejarah dan Penggunaan” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/aksara-sunda-ngalagena/>.

2 “Let’s Know Your Script Ancient Sundanese (Ngalagena)” dalam blog History of Culture. <http://history-of-culture.blogspot.com/2011/11/lets-know-your-script-ancient-sundanese.html>.

3 “Lontar” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Lontar>.

4 “Kosmologi Sunda” dalam blog Nusa Dwipa. <http://nusadwipa.blogspot.com/2008/12/kosmologi-sunda.html>.

5 “Sanghiang Siksa Kandang Karesian (Kropak No. 630)” dalam blog Giri Mandala. <http://girimandala.blogspot.com/2010/03/sanghiang-siksa-kandang-karesian-kropak.html>.

6 “Aksara Sunda (Ngalagena); Sejarah dan Penggunaan” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/aksara-sunda-ngalagena/>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *