Belajar dari “Robohnya Surau Kami”

Salam sejahtera di bulan sebelas 2014, Sidang Pembaca!

Judul cerpen A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami,” mungkin sudah tak asing lagi bagi kita sejak masa sekolah menengah. Namun, mungkin juga kebanyakan kita cuma tahu judul karya sastra mashur itu tanpa tahu isinya. Sebagai suatu kritik sosial, “Robohnya Surau Kami” digubah secara imajinatif, berani, dan menggelitik dengan memuat percakapan imajiner antara Tuhan dan Saleh, orang taat beribadah yang dimasukkan-Nya ke neraka lantaran tidak berbuat baik kepada sesama dan negeri.

Seperti diakui para pengulas, meski berbalutkan nuansa Islam, “Robohnya Surau Kami” mengusung ide-ide yang universal pula. Titik tekannya tentang ibadah/kesalehan yang harus berdampak kepada sesama/negeri dapat diaminkan penganut agama manapun, termasuk umat Kristen. Dan sorotannya terhadap fakta bahwa sebagian umat beragama begitu terfokus pada ibadah/kesalehan sehingga abai akan hal-hal (penting) lain dapat diiyakan penganut agama manapun.

Bagi Komunitas Ubi (Kombi), titik tekan dan sorotan itu sangat menarik. Kombi merasa umat Kristen bisa menimba pelajaran berharga darinya—sebagaimana Salomo atau Paulus menimba pelajaran berharga dari berbagai ide/literatur karya umat lain. Maka lima peladang menyelami ide-ide Navis dalam “Robohnya Surau Kami,” menunjukkan hal-hal yang bersesuaian dengan ide-ide alkitabiah, dan menyuratkan pelajaran-pelajaran berharga darinya.

Begitu tutup usia dan diperiksa Tuhan di akhirat, Saleh menuturkan dan membanggakan betapa rajinnya ia beribadah sewaktu di bumi. Tapi ia heran karena Tuhan terus menanyakan perbuatannya yang lain—hal yang tak dapat dijawabnya. Belajar dari adegan itu, Daniel Siahaan mengungkapkan bagaimana Tuhan menginginkan kesalehan yang berdampak nyata kepada orang lain. Ia melihat kesesuaian antara ide di balik adegan itu dengan tuntutan untuk berlaku adil, setia, dan rendah hati dalam Mikha 6:7-8.

Dari neraka, Saleh memimpin serombongan orang untuk menggugat keputusan Tuhan yang memasukkan mereka ke sana. Ia berpidato di hadapan Tuhan tentang kesalehan mereka, dan Tuhan menanggapinya dengan membentangkan keadaan negeri mereka, Indonesia, yang kaya namun penduduknya melarat. Belajar dari adegan itu, Sarpianto mengungkapkan bagaimana Tuhan menilai kesalehan orang dari keadaan negerinya. Ia melihat kesesuaian antara ide di balik adegan itu dengan perumpamaan tentang talenta di Matius 25:14-30.

Sewaktu Tuhan mengungkit ironi Indonesia, Saleh berpendapat bahwa harta benda tidaklah penting bagi mereka dan anak cucu mereka; hanya ibadah yang penting. Tuhan pun menyingkapkan bahwa pendapat Saleh berpangkal dari ibadah yang tidak meresap ke dalam hati. Belajar dari adegan itu, Febroni Purba mengungkapkan bagaimana Tuhan menghasratkan kesalehan sejati yang berdampak kepada kesejahteraan lahir-batin generasi berikut. Ia melihat kesesuaian antara ide di balik adegan itu dengan kecaman Tuhan terhadap umat-Nya di Yesaya 29:13.

Di akhir percakapan, Tuhan mengontraskan pembanggaan ibadah Saleh dkk. dengan perilaku mereka yang tidak benar dan menegaskan bahwa Ia tidaklah “mabuk disembah.” Lalu Tuhan memanggil malaikat dan menyuruhnya memulangkan mereka semua ke neraka. Belajar dari adegan itu, Viona Wijaya mengungkapkan bagaimana Tuhan menghendaki kesalehan yang nyata di atas puja-puji dan penyembahan kepada-Nya. Ia melihat kesesuaian antara ide di balik adegan itu dengan sabda Tuhan mengenai apa yang lebih disukai-Nya dalam Hosea 6:6.

Sambil digiring ke neraka, Saleh yang pucat pasi dan ketakutan bertanya kepada malaikat apakah beribadah kepada Tuhan itu salah. Malaikat menjawab bahwa ibadah tidak salah tapi keegoisan di balik ibadah itulah yang salah. Belajar dari adegan itu, S.P. Tumanggor mengungkapkan bagaimana Tuhan memandang penting motif yang mendasari kegiatan rohani. Ia melihat kesesuaian antara ide di balik adegan itu dengan gambaran Alkitab di Matius 7:21-23 tentang orang-orang yang mengaku mengerjakan banyak hal atas nama Tuhan tapi malah diusir dari hadirat Tuhan.

Demikianlah “Robohnya Surau Kami” menyajikan ide-ide yang punya titik temu dengan ide-ide alkitabiah. Kombi sangat menganjurkan pembaca untuk mendapatkan cerpen tersebut dan menikmatinya dalam pembacaan yang khusyuk. Siapa tahu pembaca bisa mendulang pelajaran berharga selain yang dikemukakan Kombi di atas—sembari mengapresiasi sebuah karya sastra anak bangsa yang bagus dan bermanfaat.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *