Setia, Hormat, Daya bagi Tanah Tumpah Darah

Oleh S.P. Tumanggor

Tanah tumpah darahku yang suci mulia/Indah dan permai bagaikan intan permata/Tanah airku, tanah pusaka ibuku/S’lama hidupku aku setia padamu1

“Tanah Tumpah Darahku,” lagu kebangsaan kita yang bait pertamanya terpampang di atas, tergolong unik lantaran diciptakan oleh dua orang. Iramanya yang syahdu digubah oleh Cornel Simanjuntak (1921-1946), komponis kelahiran Pematang Siantar yang meninggal di Yogyakarta.2

Cornel mengejawantahkan lirik lagu itu dalam hidupnya sendiri. Setia kepada tanah tumpah darah yang suci mulia, ia turut berjuang di Jakarta melawan tentara Gurkha/Inggris. Hijrah ke Yogyakarta, ia produktif menghasilkan lagu-lagu kebangsaan hingga tuberkolosis merenggut nyawanya.

Cornel menunjukkan bahwa kesetiaan berarti berjuang dan berkarya sampai akhir hayat demi negeri pusaka tempat kelahiran kita. Di masa kini, segala ikrar setia kepada Indonesia adalah omong kosong belaka jika kita tidak berjuang dan berkarya baginya sesuai dengan kapasitas dan bidang gelutan kita masing-masing.

Kali, gunung, langitmu yang biru nirmala/Pantai, hutan, tasikmu kucinta semua/Tanah airku kupuja kau di hatiku/T’rima salamku, hormat setia padamu

Dari kesetiaan, bait kedua “Tanah Tumpah Darahku” menggamit kita menuju puja-hormat kepada tanah air. Lirik menawan lagu itu seluruhnya ditulis oleh Sanusi Pane (1905-1968), sastrawan Indonesia kelahiran Muara Sipongi yang meninggal di Jakarta.3

Sanusi mewujudnyatakan lirik lagu itu dalam hidupnya sendiri. Hingga kini ia dikenal sebagai pemuja dan penggali ilham dari kegemilangan Nusantara di masa silam—ilham untuk menata langkah ke masa depan. Ia terbuka kepada budaya Barat tapi dalam hormat kepada budaya Timur dan menggagas sintesa dari keduanya.

Sanusi memperlihatkan bahwa pemujaan dan hormat berarti bangga akan potensi negeri raya tempat hidup kita. Di masa kini, segala sesumbar cinta kepada Indonesia adalah cakap angin belaka jika kita tidak mengindahkan, membanggakan, dan mengembangkan segala potensi bagus (tradisi, budaya, hasil alam, dsb.) yang kita miliki di tanah air “untaian zamrud khatulistiwa” ini.

Bumi Ibu Pertiwi yang subur sentausa/Indah berseri bagaikan taman segara/Tanah airku tujuan segala daya/Dirgayulah diri Ratuku bahagia

Dan bait ketiga “Tanah Tumpah Darah” menegaskan bahwa segala daya harus kita kerahkan demi seri-semarak bumi ibu pertiwi. Cornel Simanjuntak dan Sanusi Pane membuktikannya dengan bakti berupa karya hidup mereka—termasuk lagu buah kerja sama ini.

Mereka masing-masing membuat sejumlah lagu dan sejumlah karya sastra. Semua dipersembahkan kepada “Ratu” Indonesia. Mereka masing-masing berasal dari suku Batak Toba dan Batak Angkola, masing-masing beragama Katolik dan Islam, tapi daya mereka berpadu demi satu identitas bersama: Indonesia.

Mereka memperagakan bahwa curahan segala daya tak dapat tidak mengiringi kesetiaan dan puja-hormat kepada tanah air yang harus kita jaga baik-baik supaya dirgahayu—panjang umur. Di masa kini, segala jargon tentang membangun Indonesia adalah hampa jika tak ada tindak nyata pembaktian bakat dan pangkat baginya.

Demikianlah lagu karya Cornel dan Sanusi mengajari kita hal-hal luhur di usia 70 tahun kemerdekaan negeri kita tercinta. Kesetiaan dan puja-hormat kepada tanah air berarti berkarya mencurahkan segala daya bagi Indonesia. Perasaan, perkataan, bahkan semangat semata tiada maknanya tanpa perbuatan yang bersesuaian.

Dan sungguh penting lagu karya Cornel dan Sanusi itu dikenal dan diperdengarkan di seantero tanah tumpah darah. Di lapak YouTube ada sebuah klip filem yang menampilkan satu pemudi dan tiga pemuda Indonesia mengalunkan lagu “Tanah Tumpah Darahku” dengan harmoni pembagian suara. Orang pertama yang mengomentari klip filem itu adalah Marulina Pane, putri dari Sanusi Pane. Ia berkata, “Terima kasih. Andai ayah saya, Sanoesi Pane, dan teman baiknya, Cornel Simanjuntak, dapat mendengar suara indah kalian ini.”4

Ya, biarlah hati setiap patriot bangsa senantiasa berterima kasih atas lagu serancak “Tanah Tumpah Darahku” serta tergugah untuk setia, memuja, hormat, dan mencurahkan segala daya kepada Indonesia tercinta. Dan sekalipun Cornel dan Sanusi sudah tidak bersama kita lagi, kita semua selalu bisa menjadi suara indah yang melantunkan lagu agung mereka serta tangan indah yang menjabarkan isinya yang luhur.

Dirgahayulah diri ratu kita bahagia!

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Cornel Simanjuntak dan Sanusi Pane. Tanah Tumpah Darahku. Lirik bisa dilihat, antara lain, di Lagu-lagu untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan I: Lagu Wajib/dihimpun oleh Muchlis dan Azmy. Jakarta: Penerbit MUSIKA, 1987, hal. 37.

2 Seluruh data tentang Cornel Simanjuntak dalam tulisan ini dipungut dari “Cornel Simanjuntak” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <https://id.wikipedia.org/wiki/Cornel_Simanjuntak>.

3 Seluruh data tentang Sanusi Pane dalam tulisan ini dipungut dari “Sanusi Pane” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <https://id.wikipedia.org/wiki/Sanusi_Pane>.

4 Komentar Marulina Pane (aslinya dalam bahasa Inggris) dipetik dari “Tanah Tumpah Darahku, L: C. Simanjuntak, S: Sanusi Pane” dalam situs YouTube. <https://www.youtube.com/watch?v=qPMe40aevWA>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *