Oleh Helminton Sitanggang
Penjara, olok-olok, kelaparan, dan siksaan rupanya tak mampu membungkam Paul Robert Schneider. Pendiriannya teguh dan suaranya lantang menentang kezaliman Adolf Hitler dan partai Nazi yang berkuasa di negerinya, Jerman. Akhirnya Nazi memutuskan bahwa pendeta Protestan itu hanya bisa dibungkam dengan suntikan maut strofantin.1 Mati dibunuh di kamp konsentrasi Buchenwald pada tahun 1939, Schneider pun dijuluki sebagai “martir dari Buchenwald”.2
Apa yang membuat Paul Schneider rela menderita bahkan mati sebagai martir? Tak lain dari keyakinannya akan kehendak Allah, sebagaimana termaktub dalam Alkitab. Ayat Alkitab ini menggambarkan kemartirannya dengan baik: ”Sebab adalah kasih karunia, jika seseorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung” (1 Ptr 2:19).
Schneider, yang lahir pada tahun 1897 di Pferdsfeld, Jerman, dan ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1925,3 sadar betul bahwa Allah menghendakinya memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam konteks negeri dan zamannya. Pada tahun 1933, Hitler mulai memerintah Jerman secara rasis dan tangan besi. Ia membunuh jutaan orang non-Jerman (Yahudi khususnya, dan juga Gipsi, Afrika, dll.) karena menganggap mereka merusak kemurnian dan keunggulan ras Jermanik.4 Ia mengendalikan segala sesuatu di Jerman: budaya, ekonomi, pendidikan, hukum,5 bahkan agama.
Menyikapi pemerintahan Hitler, Gereja Injili Jerman, yang beranggotakan mayoritas penduduk Jerman, terbelah menjadi dua pihak. Satu pihak mendukung Hitler dan kekristenan yang di-Nazi-kan. Satu pihak lagi menentang Hitler dan menyatakan hanya setia kepada Allah dan Alkitab.6 Mudah ditebak bahwa Schneider berada di pihak yang terakhir.
Sebetulnya, kalau Schneider diam-diam saja, tidak menunjukkan pemihakan atau penentangan, hidupnya akan aman-aman saja. Tapi kesadaran akan kehendak Allah membuatnya tidak bisa diam. Ia berbicara menentang berbagai kebijakan dan tindakan Nazi yang salah. Ia menolak menggunakan salam “heil Hitler” (“hidup Hitler”) karena aspek pemujaan terhadap manusia (Hitler) dalam salam itu. Ia tidak mau memberikan suara untuk mendukung kebijakan Hitler menduduki Rhineland di tahun 1936 dengan melanggar Perjanjian Versailles.7
Semua itu (dan beberapa alasan sejenis) mengantar Schneider kepada “penderitaan yang tidak harus ia tanggung”: keluar-masuk penjara, aniaya dan hinaan, keterpisahan dari keluarga tercinta. Dan ia memandangnya sebagai kasih karunia, sebagai suatu kehormatan, dari Allah sehingga menanggungnya dengan berani. Seorang rekan tahanan bersaksi di kemudian hari, “Menurut penilaian saya, [Schneider]lah satu-satunya orang di Jerman yang, dengan mengalahkan segala ketakutan manusiawi, memikul salib Kristus dengan sedemikian sadar, bahkan hingga mati.”8
Di penjara pun Schneider sebenarnya berpeluang untuk melepaskan diri dari penderitaan. Ia hanya perlu menandatangani surat yang menyatakan pengunduran dirinya dari tanggung jawab atas gereja-gereja asuhannya dan persetujuannya untuk diasingkan negara.9 Namun, ia menolak—lagi-lagi karena menyadari kehendak Allah—dan memeteraikan kesadarannya itu dengan kematian di ujung jarum suntik.
Bercermin kepada Schneider, rohaniwan Kristen memang seharusnya turut memperjuangkan keadilan dan kebenaran di tengah konteks negeri dan zamannya. Lantaran perjuangan itu mungkin saja ia harus menderita. Namun, jika ia tahu bahwa Allah memang menghendakinya, ia akan memantapkan hati dan menanggung penderitaan sambil terus berbuat baik.
Hal itu menunjukkan bahwa gagasan tentang “menderita sebagai orang Kristen” atau bahkan kemartiran tidak bisa diidentikkan hanya dengan penderitaan/kemartiran karena menyiarkan iman Kristen (“penginjilan”) semata. “Menderita sebagai orang Kristen” atau kemartiran bisa juga terjadi karena memperjuangkan kebaikan, keadilan, kebenaran di berbagai sektor kehidupan. Inilah konsekuensi logis pengutusan untuk menjadi saksi Kristus di dunia (yang berarti dalam kehidupan secara luas).
Dari Buchenwald jasad Schneider diambil istrinya untuk dimakamkan di Dickenschied, tempat pelayanan mereka. Ratusan orang datang ke desa itu dan, walaupun diawasi oleh Gestapo (polisi rahasia Nazi yang dikenal kejam), berarak-arakan bersama para rohaniwan, Protestan dan Katolik, untuk membawa peti jenazah Schneider ke pemakaman.10
Keberanian mereka menjadi sebuah bentuk penghormatan bagi sang “martir dari Buchenwald” yang memperagakan keberanian untuk menanggung derita yang tak harus ditanggung karena sadar akan kehendak Allah.
Helminton Sitanggang adalah seorang pegawai BUMN di bidang pertambangan yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Don Stephens. “Paul Schneider—German opponent of Hitler” dalam situs Messianic Good News. <http://www.messianicgoodnews.org/paul-schneider-german-opponent-of-hitler/>.
2 Wayne Johnson. “Paul Schneider-‘The Martyr of Buchenwald’” dalam situs Pfarrer Paul Schneider Gesselschaft. <http://paulschneider.studio-h-weimar.de/fremdsprachiges/englisch/42-paul-schneider-the-martyr-of-buchenwald.html>.
3 “Pastor Paul Schneider Association” dalam situs Angel Fire. <http://www.angelfire.com/pa5/paulschneider/>.
4 “Nazi Racism” dalam situs United States Holocaust Memorial Museum. <https://www.ushmm.org/outreach/en/article.php?ModuleId=10007679>.
5 “Nazi Rule” dalam situs United States Holocaust Memorial Museum. <https://www.ushmm.org/outreach/en/article.php?ModuleId=10007669>.
6 “The German Churches and the Nazi States” dalam situs United States Holocaust Memorial Museum. <https://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005206>.
7 Don Stephens, “Paul Schneider—German opponent of Hitler”.
8 Don Stephens, “Paul Schneider—German Opponent of Hitler”.
9 Don Stephens, “Paul Schneider—German Opponent of Hitler”.
10 Timothy George. “Giving Thanks in Hitler’s Reich” dalam situs First Things. <https://www.firstthings.com/web-exclusives/2013/11/giving-thanks-in-hitlers-reich>.