(Setidaknya) Menyamai Pendidikan di Jawa

Oleh Rinto Tampubolon

Saya semakin paham saja mengapa pendidikan di Jawa, khususnya pendidikan tinggi, jauh lebih baik dibandingkan dengan di Sumatera Utara (Sumut). Beberapa bulan mengikuti pelatihan guru di sebuah universitas Kristen di Salatiga, saya mendapatkan banyak pengalaman yang berbeda dengan di Medan.

Di kampus Salatiga ini, suasana belajar sangat kondusif. Fasilitas dan gedung sangat mendukung mahasiswa untuk menuntut ilmu. Selain ditata dengan sangat rapi, sarana pendukungnya juga sangat lengkap. Misalnya saja, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tersedia ruang khusus praktik mengajar yang dilengkapi dengan perekam digital dan perangkat mengajar yang canggih. Tidak tanggung-tanggung, universitas ini juga telah mendirikan sekolah laboratorium yang diakui prestasinya se- Jawa Tengah. Jujur saja, fasilitas seperti ini tak kami miliki di Medan.

Para pendidiknya juga sangat ramah terhadap mahasiswa. Tidak kelihatan ada jurang pemisah antara mahasiswa dan dosen di sini. Acap kali saya melihat mahasiswa berdiskusi santai dengan dosen di ruang-ruang terbuka. Bahkan mahasiswa berkonseling kepada dosen merupakan hal lazim. Dosen dan mahasiswa adalah sahabat.

Bukan hanya ramah, para pendidik juga berkualitas dan profesional. Selama pelatihan ini, kami—khususnya saya—sangat menikmati suasana diskusi dengan mereka. Tak ada beban ketika berdiskusi. Rasa enggan karena takut tak pernah saya rasakan. Mereka selalu terbuka untuk setiap pertanyaan yang diajukan mahasiswa. Dan yang paling menarik adalah ketika dosen tidak tahu atau lupa jawaban untuk pertanyaan kami. Tanpa sungkan ia mengatakan bahwa ia akan mencari tahu jawabannya dahulu dan akan memberitahukannya pada pertemuan berikutnya.

Nah, sikap ini pantas ditiru. Dosen menyadari bahwa ia bukan orang yang tahu segala-galanya dan harus rendah hati mengakui kekurangtahuannya. Ini menjadi catatan penting bagi setiap pendidik yang merasa paling pintar sewaktu mengajar di kelas. Di samping itu, dosen-dosen di sini pun bisa dipastikan tidak melakukan “pungutan liar” terhadap mahasiswa ketika melangsungkan proses bimbingan skripsi dan mata kuliah. Sogok-menyogok adalah tabu di tempat pendidikan ini.

Halnya berbeda di Sumut. Banyak dosen terkesan arogan dan tidak “intim” dengan mahasiswanya. Dosen seperti ini suka menakut-nakuti mahasiswa dan tampil sebagai pembunuh karakter dengan merendahkan pengetahuan mahasiswa. Nyaris tidak ada diskusi dua arah antara dosen dan mahasiswa. Alhasil, mahasiswa tumbuh tanpa pemikiran kritis. Tak hanya itu, masih banyak pula dijumpai dosen bermental “pengemis.” Mereka ini doyan memeras mahasiswa polos yang berhasil ditakut-takuti dengan menekan nilai.

Saya juga kagum melihat penampilan rektor di universitas Kristen di Salatiga. Sosok orang nomor satu di kampus ini sangat sederhana dan “merakyat”. Baru kali ini saya melihat rektor yang mau duduk-duduk di pelataran kampus sambil berbincang-bincang dengan mahasiswanya. Bahkan tak enggan ia menjadi pendukung pertandingan sepak bola di lapangan kampus. Saya berani jamin, tak banyak rektor yang bersahaja seperti beliau, apalagi di Sumut.

Saya memang baru mengamati salah satu universitas (swasta) saja di Jawa Namun, teman-teman asal Medan yang berkuliah di berbagai universitas negeri di Jawa, menuturkan pula pengalaman serupa, persis seperti yang saya kisahkan di atas.

Saya kira banyak daerah selain Sumut juga memiliki kekurangan ini itu dalam hal pendidikan dibanding dengan Jawa. Barangkali masalah itu terjadi karena fokus pembangunan pendidikan kita masih Jawa-sentris. Kesenjangan perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan pendidikan di seantero Indonesia adalah persoalan serius yang harus ditanggulangi segera. Namun, isu ini juga seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tempatnya.

Kita sadar bahwa kemajuan bangsa ini tidak terlepas dari lulusan pendidikan tinggi yang berkarakter dan berkualitas. Sarana pendidikan yang memadai serta pendidik yang profesional di seluruh Indonesia adalah faktor penting untuk menghasilkan para cendekiawan yang baik dan siap membangun bangsa. Jadi, biarlah mutu pendidikan di Sumut dan di daerah lain bisa (setidaknya) menyamai pendidikan di Jawa!

.

Rinto adalah seorang guru yang tinggal di Laguboti, Sumatera Utara.

.

2 thoughts on “(Setidaknya) Menyamai Pendidikan di Jawa

  1. Eka Simanjuntak

    Bagaimana lagi kalau dibandingkan dengan uasana di kampus-kampus di luar negeri seperti Australia, Eropa, Amerika, dll…betapa tertinggalnya pendidikan tinggi kita di SUMUT itu ya…?

    Ini memang hal yg wajar karena para pendidik di Sumut masih menggunkan paradigma pendidikan yang lama. Pengalaman saya beberapa kali berdiskusi dengan salah satu dekan FKIP salah satu Perguruan Tinggi terkenal di Sumut…. tidak pernah mau kalah, selalu mau menang sendiri dan kalau tersudut, biasanya malah ngajak debat kusir….Kalau tetap terpojok, mulai dibawakkannya gaya premannya…. kasian mahasiswanya….

    Reply
  2. erna m

    Hai Rinto,
    saya akui, di bbrp institusi pendidikan yg ada di salatiga dan jogja atmosfirnya sangat baik. kita semua egaliter. saya nggak keberatan membayar mahal, karena belajarnya memang enak. diskriminasi thd mahasiswa? mana ada!!! apalagi salah satu pihak memosisikan dirinya lebih tinggi dari pihak lain. itu nggak berlaku. saya bahkan ditelepon dosen untuk informasi perpanjangan waktu kumpul tugas. Kalau berdebat, kami berupaya sesantai mungkin dan menghargai perbedaan
    kadang2 si mahassiwa sdh emosi, sang dosen tetap ketawa biarpun agak dipojokkan.

    Tapi di satu sisi, ada inst pendidikan yang membiarkan si mahasiswa jadi preman. Masa bawa senjata tajam ke kampus?

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *