Mahasiswa Rakus Buku

Oleh Febroni Purba

Mahasiswa Indonesia masa awal, yang kemudian menjadi para pendiri bangsa Indonesia, adalah orang-orang yang rakus buku sehingga cerdas dan berkarya besar. Akibatnya, di umur 29 tahun, Sukarno bisa menuliskan Indonesia Menggugat, pembelaannya yang terkenal di hadapan pengadilan kolonial Belanda. Di usia 24 tahun, Moh. Hatta bisa menghasilkan De Economische Positie van den Indonesischen Grondverhuurder (Kedudukan Ekonomi Para Penyewa Tanah Orang Indonesia). Di umur 24 tahun, Sutan Syahrir bisa mencurahkan gagasannya dalam buku Pergerakan Sekerja.

Sayangnya, banyak mahasiswa Indonesia masa kini tidak rakus buku. Akibatnya, semasa kuliah dan setelah lulus kuliah mahasiswa kini jarang menuliskan karya/gagasan yang dalam dan tajam bagi bangsa. Jangankan menghasilkan karya besar, membaca buku tebal pun sudah banyak yang tidak sanggup. Budaya instan dan terburu-buru menjadikan banyak mahasiswa kini malas membaca buku.

Mahasiswa Indonesia masa awal “tergila-gila” kepada buku. Segala buku dibaca sehingga mereka bisa menghasilkan rumusan, teori, atau bahkan ideologi yang berfaedah bagi bangsa. Tan Malaka, “Bapak Republik yang Dilupakan” itu, membaca banyak buku (termasuk Injil!).Bung Hatta punya koleksi 10 ribuan buku dengan tahun terbitan tertua sekitar akhir tahun 1800.1

Meski jumlahnya sedikit dibandingkan mahasiswa kini, mahasiswa awal mampu menggagas ide-ide “gila.” Mereka memiliki idealisme dan semangat perubahan tinggi di tengah keadaan zaman yang tidak mendukung: buku-buku sulit didapat, akses pendidikan minim, tidak ada komputer dan internet, dsb.

Berbanding terbalik dengan itu, mahasiswa Indonesia masa kini berjumlah (makin) banyak dan ditunjang berbagai fasilitas: perguruan tinggi berdiri di seantero tanah air—lengkap dengan perpustakaannya, toko buku ada di mana-mana, komputer mudah didapat dengan harga relatif terjangkau, internet menyediakan banyak informasi. Anehnya, keadaan menguntungkan ini tidak menjadikan gagasan cemerlang melimpah. Mahasiswa banyak, tapi miskin karya, seturut rendahnya minat baca.

Tampaknya banyak mahasiswa kini lebih senang bergaya daripada berkarya. Mahasiswa kini bisa membeli ponsel tercanggih dengan cara menabung selama sepuluh bulan, tapi sukar menyisihkan dana per bulan untuk membeli buku. Menongkrong lebih disukai daripada mendiskusikan buku bermutu. Tak heran kreativitas pun layu.

Gaya hidup hedonis dan materialis memang telah menumpulkan pikiran banyak mahasiswa kini sehingga mereka tidak lagi mementingkan pengasah pikiran, yaitu buku. Mereka malah jadi keranjingan mencari kesenangan (hiburan dan permainan) dengan pikiran “mumpung masih muda,” padahal masa muda harus dipakai juga untuk belajar banyak-banyak (termasuk lewat baca buku) demi masa depan yang baik.

Di tengah iklim minat baca rendah masyarakat Indonesia mutakhir,2 mahasiswa selaku kaum intelektual agen perubahan haruslah menggalakkan sikap rakus buku di tengah masyarakat. Tetapi itu tentu saja harus dimulai dari diri sendiri. Mahasiswa harus terlatih untuk memandang buku bukan sebagai benda menjemukan melainkan benda mengasyikkan karena di dalamnya ada banyak ide yang bisa dinikmati dan dikembangkan.

Buku apakah yang patut dibaca mahasiswa? Semua buku, sesuai dengan minat masing-masing: ilmu alam, sejarah, budaya, filsafat, asmara, dll. Mahasiswa harus punya tingkat kemandirian dan kekritisan berpikir yang tinggi sehingga tidak takut membaca buku apa pun, tapi juga pandai memilah-milah mana yang perlu/berguna dan mana yang tidak. Bulan demi bulan tak boleh dilewatkan tanpa membaca buku.

Semakin banyak membaca buku secara kritis, semakin terasahlah otak. Semakin terasah otak, semakin banyak pula ide yang bisa diolah. Ini kemudian dapat melahirkan pencerahan, kesejahteraan, pembaharuan, bahkan kemerdekaan bagi bangsa. Dunia pun mengakui bahwa Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, dll. melawan penjajah bukan dengan menembakkan senjata tetapi dengan menuliskan ide.

Jadi, kalau bangsa Indonesia merdeka karena pengaruh mahasiswa awal yang rakus buku, tidak ada lagi pesan yang paling cocok bagi mahasiswa kini untuk mengisi kemerdekaan itu selain “rakuslah akan buku!”

.

Febroni adalah seorang jurnalis yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Dewi Safitri. “Kisah Cinta Bung Hatta dan Bukunya” dalam situs BBC Indonesia. < http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2010/02/100215_hattabooks.shtml >.

2 Berdasarkan data UNESCO, kawasan Asia Tenggara memiliki minat baca paling rendah di dunia. Indonesia, yang berada di kawasan ini, memiliki rasio 1:1000 dalam hal minat baca (artinya, dari 1.000 penduduk, hanya 1 orang yang memiliki minat tinggi untuk membaca buku). Lihat “Hari Buku: Minat Baca Rendah dan Harga Tinggi” dalam situs Koran Jakarta. <http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/119743/ >.

4 thoughts on “Mahasiswa Rakus Buku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *