Bengkalaikan Pola Pikir “Abrakadabra”

Oleh S.P. Tumanggor

Manusia Indonesia, menurut pengamatan saya, cenderung menggemari pola pikir “abrakadabra.” Banyak dari kita tentu sudah mengenal “abrakadabra” sebagai kata mantera dari dunia sulap atau sihir dalam dongengan. Tapi agaknya kebanyakan kita belum tahu bahwa “abrakadabra” diperkirakan bermakna “kuciptakan sesuai dengan yang kukatakan.”1 Demikianlah pola pikir abrakadabra mengira bahwa sesuatu bisa terwujud/tercipta hanya dengan mengatakannya—dan pola pikir ini sering menonjol pada manusia Indonesia.

Saya bukan orang pertama yang mengamati hal itu. Paling tidak di tahun 1977 Mochtar Lubis sudah menulis: “… manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi. Saya yakin, laci kantor pemerintah, organisasi swasta, dan sebagainya di negeri kita penuh dengan dokumen dan laporan putusan rapat, putusan panitia, putusan dewan, dan sebagainya yang tidak pernah dilaksanakan.”2

Mengherankan sekaligus menyedihkan! Kita, orang Indonesia, rupanya sejak lama senang berabrakadabra: mengucapkan sesuatu—semboyan, pemeo, slogan, ikrar—lalu menganggap bahwa sesuatu itu pun terjadilah karena sudah diucapkan. Aneh bin ajaib, bukan? Kita seakan-akan memandang diri sebagai ahli sulap atau sihir yang bisa mengadakan ini-itu dengan perkataan belaka. Namun, realitas berbagai sektor kehidupan terus menunjukkan betapa silapnya pola pikir abrakadabra.

Itulah sebabnya kita tertegun di depan semboyan “kebersihan sebagian dari iman,” sebab taburan sampah di kota, kampung, sungai, laut mendesak kita bertanya-tanya sebesar apakah keimanan bangsa kita. Kita terpelangah di muka pemeo “disiplin berkendara cerminan pribadi,” karena jalanan kota, perhentian lintasan kereta api, dan area lampu merah memang sering mencerminkan kepribadian bangsa kita—tapi bukan berdisiplin. Kita termenung di hadapan slogan “pajak: dari kita untuk kita,” sebab frasa “dari kita” terasa lebih nyata daripada “untuk kita” lantaran berita kekorupan oknum perpajakan begitu menyengat dan pembangunan negeri tak kunjung pesat.

Semboyan, pemeo, slogan melimpah ruah di Indonesia, dan muatannya baik—tiada keraguan tentang itu—tapi wujud nyatanya yang nihil. Jelaslah bahwa pola pikir abrakadabra amat bercacat.

Kita pun termangu-mangu saat membandingkan ikrar luhur pemersatu bangsa, Sumpah Pemuda yang agung itu, dengan perwujudannya hari ini. Semboyan “NKRI harga mati” dicanangkan guna menopang ikrar “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.” Tapi kita tersentak kala sebagian saudara kita (terpaksa) berontak akibat tidak meratanya pembangunan/kemajuan tanah air dan, karenanya, malah mendapati NKRI sebagai harga kematian!

Pemeo “bangsa Indonesia bangsa ramah” dikumandangkan dan seharusnya dapat menunjang ikrar “mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,” sebab keramahan memungkinkan bersatunya orang-orang yang berlainan latar. Tapi kita terbelalak menyaksikan bangsa kita—entah aparat, mahasiswa, ormas, atau lainnya—kini kerap tampil sebagai bangsa marah yang baku hantam dan merusak ketika berselisih pendapat.

Slogan “aku cinta bahasa Indonesia” digaungkan guna menyokong ikrar “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Tapi kita terhenyak menyimak gaya tutur banyak orang Indonesia yang gandrung “menginggris” atau “mengasing” sehingga memberi kesan bahwa ada gangguan dalam hubungan cinta mereka dengan bahasa Indonesia.

Tanpa tindak nyata, sia-sia belakalah semboyan, pemeo, slogan, dan ikrar. Jadi, pola pikir abrakadabra bercacat lantaran anggapan bahwa kita tidak perlu berbuat apa-apa, atau bahwa tindak nyata bisa menyusul nanti (entah kapan), asalkan kita sudah memahami, merumuskan, mengucapkan hal yang patut dan benar. Tapi sepasti iman tanpa perbuatan adalah mati, demikian juga ucapan tanpa tindakan adalah mati.

Saya pikir sudah waktunya kita terjaga dari keterlenaan bertakhyul yang mengira bahwa kata-kata semata cukup untuk mewujudkan ini-itu. Sudah waktunya kita bengkalaikan pola pikir abrakadabra! Caranya adalah dengan mendorong, mendesak, memaksa diri kita bertindak setelah kita memahami, merumuskan, mengucapkan apa yang patut dan benar.

Dalam Kitab Taurat kita mendapati bahwa Tuhan sanggup mewujudkan sesuatu dengan kata-kata semata.3 Kita, manusia, tidak seperti Dia, tapi kita dianugerahi-Nya daya untuk berupaya. Jadi, mari kita bengkalaikan pola pikir “abrakadabra” dan berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan hal-hal baik dan indah yang kita ucapkan.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Seperti diterangkan dalam Wikipedia, “Banyak yang memandang kata ‘Abrakadabra’ sesungguhnya merupakan frasa Ibrani yang berarti ‘kuciptakan (a’bra) apa (ka) yang kukatakan (dab’ra).’” Lihat “Abracadabra” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Abracadabra >. Kata ka dalam bahasa Ibrani lebih tepat diterjemahkan menjadi “seperti, sesuai dengan.”

2 Mochtar Lubis. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, hal. 29.

3 Tepatnya di Kejadian pasal 1. Kejadian adalah kitab Taurat yang pertama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *