Bukan Cuma “Nenek Moyangku Orang Pelaut”

Oleh Efraim Sitinjak

“Nenek moyangku orang pelaut.” Slogan dari lirik lagu ini mengingatkan kita kepada keunggulan nenek moyang orang Indonesia di laut. Lama sebelum Indonesia berdiri, sejarah mencatat bahwa majunya peradaban bangsa-bangsa yang tinggal di Kepulauan Nusantara sangat dipengaruhi oleh penguasaan laut.

Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-12) dan Majapahit (abad ke-13 sampai ke-15) membangun dan memakmurkan negerinya dengan hasil perdagangan lewat laut. Hal yang sama juga bisa kita katakan tentang kesultanan-kesultanan Aceh, Banten, Demak, Gowa-Tallo, dan Ternate.1

Sejarah panjang keunggulan penguasaan laut itu kemudian diteguhkan kaum muda Nusantara lewat Sumpah Pemuda di tahun 1928 yang berbunyi, antara lain, “Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.” Kata “air” dalam ungkapan “tanah air” tentu saja mencakup wilayah laut. Benak para pemuda kala itu ingin menjaga tanah sekaligus air Nusantara sebagai satu kesatuan. Kecintaan akan rupa Nusantara yang terdiri dari darat dan laut tetap mereka warisi dari nenek moyang yang “orang pelaut.”

Namun, perhatian terhadap laut tak kentara dalam hidup berbangsa kita saat ini. Indonesia yang memiliki luas lautan sampai dua kali daratannya lebih suka berfokus pada pembangunan daratan. Pembangunan demi penguasaan laut tidak terlihat. Buktinya, sistem transportasi laut kita tidak efektif, kapal-kapal pengangkutan lambat, dan kehidupan nelayan kita pun sangat tertinggal. Sungguh kontras dengan kinerja leluhur kita yang unggul di laut!

Kita gagal mengelola sumber daya bahari. Indonesia mengalami kerugian sekitar 30 triliun rupiah per tahun akibat pencurian ikan di laut kita.2 Rugi akibat pencurian ini jauh lebih besar daripada pemasukan resmi hasil perikanan. Bahkan garam pun masih kita impor dari luar negeri. Pantaslah jumlah penduduk miskin di daerah pesisir mencapai 7,87 juta orang.3

Laut kita sebetulnya menyimpan kekayaan luar biasa. Untuk jenis biota laut saja, 14% terumbu karang dunia terhampar di Indonesia. Lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup ada di lautan kita.4 Ini tentu saja merupakan modal besar untuk memakmurkan masyarakat kita.

Industri pelayaran di Indonesia sampai saat ini masih terpuruk. Sekitar 95% pelayaran di Indonesia dikuasai oleh kapal berbendera asing.5 Ketergantungan industri perkapalan kita terhadap impor komponen kapal amat besar. Sebanyak 80% komponen tersebut berasal dari luar negeri.6 Ini membuat waktu pengerjaan kapal lama sehingga terseok-seoklah industri pelayaran kita.

Dunia memanfaatkan baik-baik jalur pelayaran Indonesia, namun tidak demikian halnya dengan kita. Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati jalur-jalur strategis di wilayah laut Indonesia. Sekitar 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk dan komoditas dagang dikirim melalui lautan Indonesia dengan nilai kira-kira 1.300 triliun dolar AS per tahun.7 Menurut Faisal Basri, jarak ekonomi Jakarta-Padang dua kali lebih jauh dari jarak ekonomi Jakarta-Singapura.8 Pantaslah harga buah dari luar negeri jauh lebih murah dibanding buah lokal!

Masih banyak isu kelautan kita hari ini yang akan “memilukan” nenek moyang kita. Bahkan perilaku kita sehari-hari membuang sampah ke laut menunjukkan ketidaksungguhan kita dalam berlaut. Jika segala kondisi itu kita biarkan berlanjut, pada hakikatnya kita sedang membantah slogan “nenek moyangku orang pelaut” dan ikrar bertanah air (laut) Indonesia Kita hanya tahu menjunjung slogan/ikrar, bukan melaksanakannya.

Keadaan itu harus diubah. Visi pengembangan laut harus menjadi aspek utama pembangunan Indonesia, sebab lautan kita tetap potensial sebagai modal kedaulatan dan kemakmuran bangsa. Visi itu harus dituangkan dalam kebijakan industri, riset dan teknologi, dan pengembangan kelautan. Sistem transportasi laut kita harus ditunjang kapal-kapal pengangkutan yang cepat, pelayanan pelabuhan kita harus lancar, dan pelaut-pelaut kita harus unggul dalam penguasaan ilmu, teknik dan teknologi kelautan. Semua ini akan memampukan kita mengelola sumber daya bahari demi kesejahteraan negeri.

Bukan cuma “nenek moyangku orang pelaut,” kita sendiri harus menjadi generasi yang mencintai dan menguasai laut. Dengan demikian, cucu-cicit kita kelak dapat berbangga melantunkan “nenek moyangku orang pelaut”—dengan kita dalam ingatan mereka.

.

Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

Era kesultanan-kesultanan itu: Aceh (abad ke-14 sampai ke-19), Banten (abad ke-15 sampai ke-18), Demak (abad ke-15 sampai ke-16), Gowa-Tallo (abad ke-13 sampai ke-19), dan Ternate (abad ke-13 sampai ke-17).

2 “BPK: Pencurian Ikan Rugikan Negara Rp 300 Triliun” dalam situs Viva News. <http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/370255-bpk–pencurian-ikan-rugikan-negara-rp300-triliun>.

3 “KKP: Penduduk Miskin Pesisir 7,87 Juta Orang” dalam situs Yahoo News.  <http://id.berita.yahoo.com/kkp-penduduk-miskin-pesisir-7-87-juta-orang-082218152–finance.html>.

4 “Kekayaan Laut Indonesia” dalam situs Museum Bahari
<http://museumbahari.org/outputberita.php>.

5 ”Industri Maritim Indonesia: Terpenjara Kekuasaan Asing” dalam situs Indonesia Maritime Institute. <http://indomaritimeinstitute.org/?p=1480>.

“Nilai Impor Jatim Tinggi” dalam situs Kompas.
<http://nasional.kompas.com/read/2008/09/02/20445636/Nilai.Impor.Jatim.Tinggi.>.

7 Faisal Basri. “Menggapai Negara Maritim,” dalam Tinjauan Pembangunan Maritim Indonesia edisi ke-2 Tahun 2013, hal. 74.

8 Faisal Basri, hal. 74. Faisal Basri adalah pengamat ekonomi Indonesia, dosen senior Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Ketua Dewan Penasehat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA).

3 thoughts on “Bukan Cuma “Nenek Moyangku Orang Pelaut”

  1. Robert Usat

    Next time, mohon nulis tentang perlindungan atau pemanfaatan SDA Indonesia oleh pemerintah/perusahaan swasta ya, khususnya bagaimana dampaknya bagi masyarakat setempat; pada air, udara, dll. serta umbar juga bagaimana seharusnya CSR dilakukan. Tks

    Reply
    1. Efraim S

      Terimakasih atas komentarnya Robert. Iya, ide tentang perlindungan atau pemamfaatan SDA Indonesia memang perlu kita bahas nantinya.

      Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *