Golput Bukan Pilihan Bijak

Oleh Efraim Sitinjak

Dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, adanya “golongan putih” (golput), yakni orang-orang yang tidak memilih, sudah menjadi realitas. Jumlah golput meningkat sejak pemilu pertama di tahun 1955, yakni sebesar 12,34% dari seluruh pemilih sah, sampai pemilu tahun 2009, yakni sebesar 40%.1 Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, umat Kristen tentu perlu menyikapi isu golput secara kritis dan kristiani. Apakah golput bisa kita terima atau sebaiknya kita hindari?

Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia mengajari umat Kristen untuk tidak menjadi golput. Alasannya karena kita harus terlibat dalam kehidupan bangsa-negara. Ya, kita memang bukan tamu, melainkan pendiri dan pemilik sah negara ini bersama umat-umat lain. Sebab itu, kita juga turut bertanggung jawab dalam mengusahakan kesejahteraan bangsa tercinta. Salah satu caranya adalah dengan ikut serta dalam pemilu, mekanisme yang telah kita sepakati untuk memilih orang-orang yang akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat.

Dalam Alkitab pun kita menemukan suatu prinsip untuk memilih awak pemerintahan yang baik. Prinsip ini mendorong kita mencari dari seluruh bangsa “orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap.”2 Kalau diterapkan kepada pemilu, prinsip ini mengajari bahwa keikutsertaan kita (dalam mencari dan memilih orang-orang yang seperti itu atau malah mencalonkan diri sebagai orang-orang yang seperti itu) turut menentukan masa depan bangsa kita. Oleh karena itu, golput lebih baik kita hindari.

Golput pada awalnya merupakan sebuah gerakan kritis terhadap pemilu pertama era Orde Baru di tahun 1971. Dicetuskan pada tanggal 3 Juni 1971 oleh mahasiswa “Angkatan 66,” gerakan ini menilai pemilu 1971 sebagai sarana pemerintah saat itu untuk mengambil kekuasaan sebesar-besarnya. Mereka mengajak pemilih untuk mencoblos bagian putih kertas suara, yakni bagian di luar gambar partai politik (parpol) peserta pemilu, dan dengan demikian tidak memilih parpol manapun. Maka mereka pun dikenal sebagai “golongan putih.”3

Dari latar sejarahnya yang bernuansa kritis, hari ini golput telah “berkembang” jadi bernuansa apatis pada banyak orang. Mereka ini tidak memberi suara di hari Pemilu semata-mata karena tidak peduli—apatis, bukan karena punya pertimbangan-pertimbangan kritis. Sikap apatis sudah pasti tidak sesuai dengan ide keterlibatan umat Kristen dalam kehidupan bangsa-negara. Jadi, golput lantaran apatis bukanlah pilihan bijak bagi kita.

Di lain pihak, golput lantaran kritis juga tetap saja bukan pilihan paling bijak bagi kita. Dasar pemikirannya adalah karena pemilu merupakan kesempatan bagi warga negara untuk bersuara—untuk membuat perubahan (baik) terhadap kinerja pemerintahan. Alih-alih menggunakan kekritisan untuk tidak memilih, lebih baik kekritisan itu kita salurkan untuk menimbang baik-baik kinerja dan rekam jejak calon wakil rakyat. Kalaupun tidak ada yang terlalu baik, secara kritis kita bisa tetap memilih yang masih lebih baik di antara semua calon yang tersedia dengan pemikiran bahwa roda pemerintahan harus tetap bergulir.

Ya, kita bisa tetap bersikap kritis dalam pemilu tanpa harus menjadi golput. Dengan memilih secara kritis, kita memberi peluang lebih besar untuk mendapatkan pemerintah yang baik. Dengan terpilihnya pemerintah yang baik, kita memiliki peluang lebih besar untuk melihat derap pembangunan yang baik pula.

Jadi, pilihan yang paling bijak bagi kita, umat Kristen, adalah tidak menjadi golput. Kita lebih baik menjadi golput dalam pengertian baru saja: golongan yang memilih wakil rakyat dengan hati “putih” demi kebaikan bangsa.

.

Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Secara lebih lengkap, besaran golput pada tiap-tiap pemilu adalah: 12,34% (1955), 6,67% (1971), 8,40% (1977.), t 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II), 29% (Pemilu legislatif 2009). Prediksi berbagai sumber golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Golongan Putih dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia <http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_putih>.

2Keluaran 18:21. Berdasarkan konteksnya, perintah Alkitab ini berbicara tentang pemilihan “hakim-hakim” Israel zaman silam. Namun, prinsip pemilihannya sangat bisa kita terapkan di masa kini dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat.

3 “Golongan Putih” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_putih>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *