Oleh Hendy Yang
Suatu krisis sedang melanda Indonesia: krisis manusia yang memiliki visi jelas dalam membangun bangsa. Banyak sektor di tanah air tertular krisis tersebut. Sektor-sektor itu pun jadi “sakit” dan menyimpang dari fitrahnya. Sebagai contoh, menurut survei Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat malah menjadi sarang korupsi terbesar di tanah air.1
Ironi tersebut tidak hanya tampak di DPR. Kementerian Agama, yang seharusnya menggenjot moral rakyat, pernah juga mendapat predikat serupa. Lembaga-lembaga hukum, kepolisian, pajak, kejaksaan, dan sebagainya tidak luput dari penyakit kronis berupa penurunan kuantitas manusia Indonesia berkualitas.
Indonesia harus menanggulangi krisisnya. Pembenahan lembaga-lembaga negara yang vital harus dilaksanakan. Caranya tentu saja dengan memastikan sektor-sektor tersebut dihuni manusia yang berkualitas—kompeten dalam bidangnya serta memiliki akhlak yang baik. Jadi, pulihnya kondisi bangsa di masa depan bergantung pada pembentukan manusia Indonesia berkualitas di masa kini. Umat Kristen Indonesia, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, tentu saja harus ikut serta dalam projek ini.
Paling tidak dua pertanyaan muncul mengiringi rencana pembentukan manusia Indonesia berkualitas. Pertama, di manakah tempat yang tepat untuk membentuk manusia Indonesia? Kedua, apa cara yang tepat untuk membentuk manusia Indonesia?
Untuk pertanyaan pertama, salah satu jawabannya adalah kampus perguruan tinggi. Inilah tempat yang tepat untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas. Tilik saja! Menteri-menteri di dua kabinet pemerintahan SBY seluruhnya berasal dari kampus perguruan tinggi. Sembilan puluh tujuh persen anggota DPR juga merupakan mantan mahasiswa. Lowongan bagi posisi-posisi penting mencari-cari mantan mahasiswa.
Untuk pertanyaan kedua, dalam konteks Kristiani, salah satu jawabannya adalah pemuridan, secara khusus lagi pemuridan di kalangan mahasiswa. Proses pemuridan dapat digambarkan sebagai berikut: seorang mahasiswa senior yang sudah punya prinsip dan visi jelas (yaitu hidup bagi Tuhan dan sesama/ bangsa—sesuai dengan Hukum Kasih) melatih satu atau beberapa orang mahasiswa junior untuk berprinsip dan bervisi pula.
Jadi, secara ideal, pemuridan mahasiswa seharusnya dapat memasok manusia Indonesia berkualitas untuk membangun berbagai sektor kehidupan berbangsa. Masa kemahasiswaan yang singkat seharusnya dapat dioptimalkan untuk menanamkan prinsip moral yang kuat (Alkitabiah, dalam konteks Kristiani) serta idealisme kebangsaan yang jelas.
Pemuridan harus membentuk identitas seseorang sebagai pembangun keluarga yang baik, anggota masyarakat yang berperan, serta manusia yang berguna bagi bangsanya—setidaknya semua itu sudah tersurat atau tersirat dalam pernyataan visi berbagai pelayanan mahasiswa Kristen. Pembentukan identitas inilah yang harus dikejar sebagai sasaran proses pemuridan.
Karenanya, pemuridan harus dijaga baik-baik agar tidak bergeser dari sasaran tersebut. Sayangnya, saat ini malah banyak hal yang mengisyaratkan terjadinya pergeseran itu. Sebagai contoh, ada lembaga pemuridan yang malah “mencuci otak” mahasiswa binaannya dengan mengajarkan bahwa berkutat dalam hal-hal rohani lebih berguna daripada berkecimpung dalam hal-hal non-rohani. Jadi, maksud pemuridan berubah. Bukan Firman dipasok ke dalam lingkup hidup kemahasiswaan, melainkan hidup mahasiswa ditarik ke dalam lingkup kerohanian—belum pasti pula Firman Tuhan masuk dengan selaras dalam diri si mahasiswa.
Sayang sekali! Kesempatan yang begitu baik untuk memperbaiki krisis di Indonesia malah terlewat begitu saja. Masa pemuridan tidak dimanfaatkan untuk menanamkan wawasan agar mahasiswa benar-benar menjadi agen perubahan. Sebaliknya, mahasiswa malah disibukkan dengan perkara-perkara rohani belaka. Dalam hal ini, lembaga pemuridan menjadi semacam “penjara” bagi hidup mahasiswa.
Pemuridan harus kembali kepada sasaran hakikinya untuk menghasilkan manusia-manusia berkualitas. Lewat pemuridan harus terbentuk manusia-manusia yang mampu mengerjakan perannya dengan baik dengan visi yang jelas.
Bayangkan apabila produk pemuridan ini diberi kesempatan memegang peranan-peranan penting di Indonesia masa mendatang! Ada peluang kita bisa melihat krisis Indonesia tertanggulangi sehingga bangsa kita maju, bersih, dan sejahtera. Jadi, mari pastikan pemuridan menghasilkan manusia-manusia berkualitas: kompeten dalam bidangnya, berakhlak baik, dan memiliki visi jelas dalam membangun bangsa.
.
Hendy adalah seorang alumnus jurusan teknik mesin yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
- Sonny Wibisono. “Ketika Hati Nurani Tak Lagi Terdengar” dalam situs Masyarakat Transparansi Indonesia. <http://www.transparansi.or.id/artikel/ketika-hati-nurani-tak-lagi-terdengar/>.