Oleh Monalisa Malelak
Mendengar kata-kata “super junior,” kawula muda penikmat musik pop Korea tentunya akan langsung teringat kepada kelompok penyanyi tampan asal Korea Selatan. Awalnya grup yang terdiri dari anak-anak muda berbakat ini dinamakan “Junior.” Perusahaan rekaman kemudian memberi mereka nama “Super Junior.” Sekarang mereka menjadi junior yang super, salah satu grup vokal terbesar di dunia.
Nama grup “Super Junior” menggelitik imajinasi saya dengan pertanyaan: Haruskah junior menjadi “super” agar dikagumi atau dihargai? Jika tidak, apakah junior akan selalu kalah dari senior?
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, senior berarti: 1. Lebih tua dalam usia; 2. Lebih tinggi dalam pangkat, kedudukan, tingkat, dsbnya.1 Junior, tentu saja, memiliki arti sebaliknya: lebih muda usianya dan lebih rendah kedudukannya. Namun, kedudukan lebih rendah ini tidak serta merta berarti tak punya keunggulan.
Sebagai yang lebih muda, junior adalah pembawa ide-ide segar yang sesuai dengan perkembangan jaman. Semangat besar serta keinginan belajar yang tinggi juga identik dengan junior. Suatu perubahan sangat mungkin dihadirkan oleh seorang junior. Contoh sederhana keunggulan junior dari senior nyata dalam keluarga kami. Menguasai berbagai program komputer dan internet bukanlah hal yang sulit bagi saya, namun cukup sulit bagi senior saya, mama.
Keluarga memang menjadi tempat pertama penerapan lakon senior-junior. Sayangnya, terkadang timbul “ketimpangan” dalam penerapan lakon tersebut. Sebagai contoh, dalam masyarakat salah satu suku di NTT (daerah asal saya), ada aturan tak tertulis bahwa kakak laki-laki tertua adalah mandataris ayah—pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga—yang berhak menetapkan tugas adik-adiknya. Sebaliknya, anak laki-laki bungsu mempunyai mandat untuk menjaga rumah induk, yaitu rumah keluarga. Jadi, saat semua kakaknya diperbolehkan meninggalkan rumah bahkan daerah, si bungsu harus tetap tinggal di tempat untuk “menjaga rumah”.
Dari satu sisi, hal ini tidaklah buruk, sebab menjaga warisan keluarga dan budaya adalah tindakan yang terhormat. Namun, dari sisi lain, hal ini dapat sangat membatasi si bungsu. Bagaimana dengan cita-citanya? Apakah seumur hidup ia hanya boleh melakukan apa yang diperintahkan ayah dan kakaknya? Tentunya adat semacam itu tidak tepat diteruskan dan perlu dikoreksi.
Koreksi terhadap adat istiadat pernah dilakukan oleh John Ndolu, maneleo (kepala suku) salah satu daerah di Pulau Rote, NTT. John ingin sedikit membenahi tradisi tu’u (semacam arisan) menjadi sarana penggalang dana pendidikan bagi anak-anak Rote yang ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Tradisi tu’u biasa digelar ketika suatu keluarga mengadakan upacara pernikahan atau kematian. Untuk menunjukkan derajat keluarga itu, tu’u dijadikan identik dengan pesta pora yang menghabiskan dana puluhan juta rupiah.
Keinginan John mendapat tentangan dari keluarga dan orang-orang sesukunya, khusunya para senior. Namun, John menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud menghilangkan tu’u. Ia hanya ingin sebagian dana untuk pesta itu ditabung sebagai dana pendidikan bagi anak-anak mereka. Perjuangan John akhirnya menghasilkan sarjana-sarjana baru asal daerahnya yang sekarang bekerja sebagai guru, camat, dll.2
Di sini saya menemukan jawaban untuk pertanyaan saya di atas. Perlukah junior menjadi “super” agar dapat dihargai? Jawabannya: Ya! Dengan apakah seorang junior dapat membuktikan ke-“super”-annya? Dengan karya nyata!
Senior-junior adalah status-status yang tidak dapat dan tidak perlu dihilangkan. Yang harus dihilangkan atau dikurangi adalah efek negatif dari pola hubungan di antara kedua status tersebut. Untuk itu, dua buah solusi saya tawarkan.
Pertama, “emansipasi junior.” Janganlah senior bertindak seolah-olah junior hanya punya kewajiban untuk menerima perintahnya. Junior harus diberi kesempatan maju. Kedua, junior jangan hanya menjadi junior—jadilah super junior! Tunjukkanlah karya nyata yang baik dalam segala hal sehingga senior melihatnya dan mengakui ke-“super”-annya.
Saya teringat sebuah pesan terkenal dari seorang senior kepada juniornya: “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan … dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”3 Nyata dari pesan ini bahwa setiap junior memang berpotensi menjadi super junior.
.
Monalisa adalah seorang alumnus jurusan teknik elektro yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
.
Catatan
1Lema “senior” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
2“John Ndolu, Pahlawan Pendidikan dari Pulau Rote” dalam giewahyudi.com. <http://giewahyudi.com/john-ndolu-pahlawan-pendidikan-dari-pulau-rote/>.
3 1 Timotius 4:12.
Salam kenal Kak Monalisa!
Wah melihat beberapa tulisan kakak, pengamatan dan imajinasinya luar biasa unik 🙂
Terus berkarya kak!