Oleh Monalisa Malelak
Waktu menunjukkan hampir jam delapan malam (WITA). Mama saya telah siap sedia di depan televisi, tidak sabar menunggu sederetan iklan yang lewat. “Sudah mulai!” Seruan kegembiraannya terdengar ketika sinetron kesukaannya akhirnya ditayangkan. Entah kenapa beliau menyukai sinetron ini—dan juga beberapa sinetron lain—sekalipun ceritanya sedikit membingungkan.
Mama saya tentulah bukan satu-satunya orang yang terkena pikat sinetron di Indonesia. Saat ini sinetron pun telah memikat banyak remaja dan anak-anak. Sinetron bertema drama remaja menjadi magnet yang menarik perhatian mereka. Cara berpakaian, bersikap, bahkan gaya bicara beberapa tokoh sinetron dengan mudah mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh luar biasa!
Bagaimana masyarakat kita bisa begitu menyukai sinetron? Saya perhatikan beberapa sinetron Indonesia sekarang ini mempunyai kesamaan ide cerita bahkan alur dan akhir cerita: kisah tentang orang kaya yang anaknya tertukar atau terpisah selama bertahun-tahun, dibumbui dengan romantisme kawula muda dan akhir cerita yang bahagia. Ada juga beberapa sinetron dengan ide cerita yang sama tapi ditambahi unsur-unsur humor atau gaib. Semua sinteron ini menjual kekayaan, kesenangan, dan hiburan—menjual khayalan!
Mungkin justru karena khayalan itulah masyarakat kita, termasuk mama saya, menyukai sinetron. Kita lebih menyukai cerita rekayasa yang menyenangkan untuk dilihat dan dirasakan daripada cerita nyata tentang kehidupan yang penat. Kesempatan menonton sinetron kita gunakan sebagai waktu melepas lelah setelah seharian bekerja. Ini mungkin nilai positif dari sinetron. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sinetron pun membawa beberapa dampak buruk bagi masyarakat kita.
Mama saya, seorang bidan swasta, rela bolak-balik kamar periksa dan ruang menonton agar tidak ketinggalan cerita sinetron kesayangannya. Jika ia terpaksa meninggalkan TV dalam waktu yang agak panjang, ia akan meminta siapa saja yang ada di ruang TV untuk menyimak sinetron itu baik-baik dan menceritakannya kembali kepada beliau. Tidak jarang “siapa saja” itu adalah saya, karena saya pasti kalah bersaing apabila ingin menonton acara favorit saya. Bahkan kami pernah marahan sesaat karena hal ini.
Dari peristiwa itu, saya melihat beberapa dampak buruk dari sinetron. Pertama, beberapa pekerjaan bisa tertunda akibat mengejar tayangan kesayangan. Kedua, hubungan dengan orang-orang di sekitar bisa menjadi renggang akibat keegoisan untuk mempertahankan tontonan. Ketiga, isi cerita sinetron itu sendiri kurang memberi nilai-nilai pendidikan yang baik bagi keluarga, tidak hanya bagi para ibu, tetapi juga anak-anak—tidak membekali penonton dengan pengetahuan yang penting.
Siapa yang harus bertanggung jawab jika dampak-dampak tersebut muncul? Para pembuat sinetron? Stasiun televisi yang menayangkannya? Atau para penonton sendiri? Menurut saya setiap komponen itu mempunyai andil masing-masing.
Para pembuat sinetron dan stasiun televisi janganlah semata-mata hanya melihat tren yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan. Harapan saya, para pembuat sinetron dapat menghadirkan nilai-nilai pengajaran yang sehat dalam sinetronnya. Hadirkanlah Indonesia dan kenyataannya secara cerdas, indah, dan menyenangkan, bukan sekadar khayalan! Buatlah sinetron yang menyegarkan pikiran dari kepenatan—seperti tujuan banyak orang menonton sinetron—tanpa mengikis nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki bangsa.
Selain itu, penonton pun harus lebih cerdas dan kritis dalam menonton. Cerdaslah dalam memilih tontonan yang sesuai dengan usia maupun kebutuhan. Pilihlah tontonan yang memiliki nilai-nilai baik untuk mengembangkan diri, bukan sekadar menghibur atau mengikuti tren. Selanjutnya, jangan jadikan waktu menonton sinetron kesayangan sebagai waktu yang tidak dapat diganggu oleh apa pun dan siapa pun. Menontonlah pada waktu luang atau senggang sehingga hal-hal prioritas tidak terlewatkan dan orang-orang di sekitar kita pun tidak merasa terabaikan.
Dengan demikian, sinetron pun dapat menjadi tontonan keluarga yang berharga sebagai pelepas “kelelahan pikiran” yang menghibur hati, menambah pengetahuan, dan mempererat jalinan kasih di antara anggota keluarga. Ibu-ibu yang menonton sinetron tidaklah salah selama mereka melakukannya dengan cerdas. Tetapi harap-harap jangan sampai dikenakan julukan seperti yang diberikan abang saya kepada mama: “Makosi: Mama korban sinetron.”
Selamat menonton sinetron!
.
Monalisa adalah seorang alumnus jurusan teknik elektro yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
.