Oleh Victor Sihombing
Sepucuk surat elektronik datang menyapa saya dari seorang teman yang sedang belajar di luar negeri. Ia diminta menyanyikan lagu Natal khas Indonesia untuk perayaan Natal di kampusnya. Sebagai orang Indonesia, ia merasa sangat terhormat diminta melakukan hal itu. Ia lalu mulai mencari lagu apa yang bisa dinyanyikan dan sangat terkejut ketika tidak menemukan lagu Natal khas Indonesia.
Seperti dia, saya juga terkejut. Saya tersadar kalau saya tidak pernah tahu sebuah lagu Natal khas Indonesia. Jangan-jangan kita, umat Kristen Indonesia, memang tidak punya. Saya jadi bertanya-tanya, pernak-pernik Natal apa lagi yang kita tidak punya?
Sepengamatan saya, Natal di Indonesia memang lebih identik dengan pohon cemara, baju merah Sinterklas, lampu kelap-kelip beraneka warna, lonceng-lonceng yang berdentang, lagu-lagu Natal dari Barat. Semua hal berbau bukan Indonesia ini seakan-akan tumpah ruah, masuk ke pusat-pusat perbelanjaan sebelum akhirnya mampir ke rumah-rumah kita.
Bahkan serpihan-serpihan salju—di Indonesia hanya ada di Puncak Jayawijaya, Papua—muncul di mana-mana. Kita mencontek apa yang ada di luar negeri. Kita tampaknya malu jadi orang Indonesia ketika merayakan Natal.
Akibatnya, Natal sering disalahartikan. Natal disangka sebagai waktu untuk memutar lagu “Jingle Bells, jingle Bells, jingle all the way.” Semua tembang berhenti dinyanyikan, dan semua gending disimpan di gudang. Natal dikira sebagai waktu untuk memakai pakaian model terbaru dan terpopuler. Semua batik disimpan, atau kalaupun dipakai, cuma layak buat mereka yang sudah berumur saja. Natal adalah waktu untuk berkata “merry Christmas” kepada semua orang yang kita temui. Semakin “bule” rupa kita, semakin nyata Natal kita.
Natal lalu jadi asing buat Indonesia. Natal bak produk dari luar negeri yang masuk ke negeri ini. Laksana air dan minyak, Natal tak menyatu dengan kebudayaan lokal kita. Tidak banyak warna kebudayaan lokal tampil saat Natal. Bulan Desember jadi waktu budaya Natal Barat naik panggung dan budaya lain pasrah jadi penonton.
Padahal, Natal milik semua bangsa, bukan?
Pada malam Natal, Lukas 2:10 mencatat warta para malaikat bahwa kelahiran Kristus adalah kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Kesukaan itu tidak hanya milik sebuah bangsa dengan sebuah kebudayaan saja, tetapi milik semua bangsa di bumi ini dengan kebudayaan yang beragam. Maka sukacita Natal selayaknya mengalir keluar dari semua bangsa dengan ungkapan budaya khasnya masing-masing. Para Majus tidak membawa barang-barang khas Yahudi untuk bayi Yesus. Mereka membawa emas, kemenyan, dan mur—unik milik mereka.
Alkitab sendiri tidak pernah membatasi bahwa Natal harus dirayakan dengan pohon cemara atau lonceng. Bagi kita, bangsa Indonesia, Natal seharusnya dirayakan dengan cara kita. Kemeriahannya harus nyata lewat kebudayaan kita. Tiada keharusan untuk menambahkan sesuatu dari luar negeri demi menciptakan cita rasa Natal ala Indonesia.
Maka mari kita beri ruang bagi kebudayaan Indonesia untuk meramaikan Natal. Budaya Indonesia yang beraneka ragam, saya percaya, akan membuat Natal jadi jauh lebih indah dan lebih semarak. Ada dekorasi Natal yang manis dengan digunakannya motif batik yang unik. Ada pertunjukan Natal yang segar dalam bungkus pewayangan yang asyik. Ada musik Natal yang syahdu ketika bonang dan siter berpadu. Natal harus dijadikan inspirasi bagi karya kreatif para seniman Kristen di negeri ini.
Bukankah kita memiliki gereja-gereja yang berbasiskan kesukuan? Alangkah indahnya bila masing-masing gereja suku memiliki caranya sendiri untuk menyemarakkan Natal. Bayangkan hamparan suku dari Sabang sampai Merauke bergembira dengan lagu dan tarian yang berbeda ketika memeriahkan kelahiran Tuhan kita. Dengan demikian, ada warna-warni kebudayaan yang cerah dan ceria di saat Natal. Natal tidak monoton dirayakan dalam satu warna di bawah pohon cemara.
Seandainya semua ini terjadi, saya kira seluruh dunia akan menoleh ke negeri kita di masa Natal. Keluhuran budaya Indonesia akan memukau dan mencelikkan mata mereka: betapa agung dan akbarnya Tuhan yang menciptakan bangsa-bangsa!
Tidak hanya kita, Tuhan juga pasti akan bangga karenanya.
.
Victor Sihombing adalah seorang karyawan di bidang konstruksi fasilitas industri yang tinggal di Depok, Jawa Barat.
.