Indonesia yang Tidak Terkotak-kotak

Oleh Paul Sagajinpoula

Pada bulan November 2011, dua belas orang anak SD dari pedalaman Papua sukses mengukir prestasi gemilang di ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School (ASMOPS) yang dihelat pertama kali di Jakarta. Empat emas, lima perak, dan tiga perunggu berhasil mereka raih. Padahal sebelumnya menghitung 5 + 6 pun mereka tak bisa.1 Menakjubkan, bukan?

Kenyataan itu membukakan mata kita untuk melihat bahwa daerah di Indonesia yang sering dicap “tertinggal” pun sesungguhnya menyimpan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Kita pun dapat meyakini bahwa daerah-daerah lain yang sama-sama kena cap “tertinggal,” misalnya Nias, Mentawai, Nusa Tenggara Timur, juga menyimpan potensi SDM serupa.

Pertanyaannya sekarang, mengapa potensi itu seolah-olah terpendam? Salah satu jawabannya adalah karena selama ini kita terbiasa memandang Indonesia secara terkotak-kotak dalam dikotomi pusat dan daerah. Pandangan tersebut tidak mutlak salah. Memang ada satu pusat pemerintahan di Indonesia dan daerah-daerah lain bertanggung jawab kepada pusat itu. Namun, salah menyikapi dikotomi tersebut telah membuat pembangunan timpang. Pusat (Pulau Jawa) dibangun besar-besaran tapi daerah-daerah diabaikan.

Akibat ketimpangan ini banyak daerah di Indonesia jadi terlantar. Daerah hanya dijadikan pemasok uang bagi pembangunan pusat. Celakanya, hal ini terjadi pula di tingkat provinsi. Ibukota provinsi gencar sekali dibangun tapi daerah-daerahnya diabaikan. Maka tak berlebihan rasanya jika kita katakan bahwa daerah-daerah sering menjadi tumbal pembangunan negara.

Kegemaran membangun pusat belaka harus ditinggalkan. Kegemaran ini jelas membahayakan kehidupan bangsa. Cara pandang terkotak-kotak bisa dan telah memunculkan rasa “terasing” pada warga Indonesia di daerah-daerah yang terabaikan. Rasa terasing ini bisa dan telah memunculkan hasrat untuk memisahkan diri dari Indonesia. Ini tentu saja tidak kita harapkan.

Memandang Indonesia secara terkotak-kotak, di mana pusat harus maju sementara daerah “tidak harus” maju,  adalah cara lama. Cara itu harus dibuang jauh-jauh dan diganti dengan cara baru yang memandang pusat dan daerah-daerah harus sama-sama maju. Meski pusat akan selalu lebih maju dalam berbagai hal, daerah-daerah juga harus mengalami kemajuan secara proporsional. Di sini dituntut kesehatian orang pusat dan daerah dalam memajukan semua wilayah di Indonesia. Dengan kesehatian ini niscaya kesejahteraan hidup, kelancaran angkutan, pendidikan layak, dsb., bukan lagi sekadar mimpi bagi warga Indonesia di daerah-daerah yang selama ini terabaikan.

Salah satu jalan untuk menerapkan cara baru itu adalah membenahi pendidikan di daerah-daerah. Kita tentu maklum bahwa pendidikan yang baik adalah modal untuk kemajuan. Para pengajar yang terbeban dan terpanggil untuk mengabdi di daerah harus dibekali dengan pelatihan yang memadai dan pengenalan “medan” tempat mereka akan mengabdi. Pemerintah tentu harus menyokong mereka dengan gaji dan tunjangan hidup yang sangat layak.

Ilmu-ilmu dasar wajib diberikan kepada anak-anak pedalaman, misalnya pelajaran Matematika dasar—penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Semuanya mesti diajarkan terus-menerus sampai anak-anak tersebut mahir. Meski mungkin akan memakan waktu lama, itu tak jadi soal, sebab kita sudah melihat bagaimana otak anak-anak pedalaman tak kalah cemerlang dari otak anak-anak kota. Kalau selama ini kita mengira bahwa anak-anak pedalaman bodoh, sudah sepatutnya kita bertobat dari pemikiran semacam itu!

Sumber dana yang terhimpun di pusat mesti digelontorkan balik untuk membangun daerah. Sarana pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan peribadatan yang layak harus dibangun. Akses jalan dan angkutan harus dibenahi agar memperlancar perputaran roda-roda ekonomi. Dengan begitu, tingkat kesejahteraan masyarakat perlahan-lahan akan terangkat.

Orang pusat dan orang daerah juga perlu bekerja sama membangun pabrik atau industri strategis di luar Jawa. Di daerah-daerah kepulauan seperti Nias dan Mentawai, misalnya, bisa dibangun pabrik pengolahan ikan. Di Sulawesi Tengah bisa dibangun pabrik coklat2 dan di Sumatera Barat bisa dibangun pabrik pengolahan gambir.3

Ya, memandang Indonesia secara terkotak-kotak adalah sumber bahaya bagi kelangsungan bangsa kita. Oleh sebab itu mari kita baharui cara pandang itu dengan kembali kepada semangat kesatuan Sumpah Pemuda, “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”—yang tidak terkotak-kotak.

Catatan

1 “Anak Papua berjaya di olimpiade ASMOPS (tidak ada yang tidak mungkin)” dalam situs Yohanes Surya. <http://www.yohanessurya.com/news.php?pid=1&id=213 >.

2 Sudah ada rencana pemerintah untuk itu. Lihat Agnes Tangkilisan. “Sulteng Dijadikan Daerah Produsen Kakao Terbesar di Indonesia” dalam rri.co.id situs RRI. <http://rri.co.id/v2/index.php/berita/13892/Sulteng-Dijadikan-Daerah-Produsen-Kakao-Terbesar-di-Indonesia#.UMnFzeRvPfU >.

3 Mingguan BAKINNews. Lihat “Melirik Potensi Gambir Limapuluh Kota” dalam www.bakinnews.com situs Bakin News. <http://www.bakinnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3367:melirik-potensi-gambir-limapuluh-kota-&catid=39:kab-limapuluh-kota&Itemid=61 >.

One thought on “Indonesia yang Tidak Terkotak-kotak

  1. hokliang

    Sebenarnya saya suka dengan kotak-kotak, karena kosakata ini turut mengusung pemprov baru Jakarta.hehe
    Salam kenal, Paul.
    Saya rasa sulit untuk meratakan pembangunan kalau pusat terus memakai logika ada untung, ada pembangunan. Kalau pemerintah masih mengusung satu-tanah-air maka perlu logika sebaliknya, yaitu membangun dulu baru beruntung.
    Selain itu, filantropis kristen-yg pernah diceritakan Kombi-punya andil besar. Secara bisnis pasti ada untung karena sudah ada potensi, atau setidaknya impas (BEP). Sebagai filantropis tentu bukan untung yang dikejar toh? tapi mengusung satu-tanah-air satu-Indonesia.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *