Oleh Nevi Tambunan
Sebagian besar orang Indonesia masih mempercayai mitos-mitos tentang dampak pujian (apresiasi dalam bentuk perkataan) kepada anak. Ada mitos yang mengatakan bahwa pujian akan membuat anak kurang berusaha meningkatkan prestasinya di kemudian hari—padahal anak harus belajar bekerja keras. Ada pula mitos yang tampak “rohani” dan mengatakan bahwa pujian akan menjadikan anak sombong atau besar kepala. Dengan mempercayai mitos-mitos itu, kita sebenarnya bisa menghancurkan generasi bangsa, bukannya berinvestasi bagi masa depan bangsa.
Masa anak-anak adalah masa yang penting untuk membentuk kepribadian seseorang. Apa yang ditabur pada masa anak-anak akan berdampak pada tahap perkembangan selanjutnya—sampai dewasa. Kalau yang ditabur adalah benih baik, anak mempunyai potensi tumbuh kembang yang baik di masa depan. Sebaliknya, benih buruk akan memberi dampak negatif di masa depan yang sulit diperbaiki.
Pada umur tiga tahun, anak mulai membuat pemaknaan tentang keberhasilan dan kegagalan.1 Bagaimana anak membuat pemaknaan itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, karena anak belajar dari lingkungannya. Lingkungan terdekat anak adalah keluarga dan sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa anak bisa jadi gampang menyerah jika orang tuanya suka mengkritik kemampuan mereka dan terlalu mengontrol mereka. Sebaliknya, anak bisa jadi antusias jika orang tuanya mendukung inisiatif mereka dan menunjukkan cara supaya berhasil.2
Dengan demikian, pemberian pujian sangat penting dan berguna sejak masa anak-anak. Pujian adalah salah satu faktor yang membentuk harga diri anak. Harga diri merupakan kunci keberhasilan perkembangan anak. Psikolog asal AS, Terri Apter, mengatakan bahwa harga diri yang baik bahkan lebih besar dampaknya terhadap keberhasilan anak daripada kecerdasan dan kemampuan bawaan.3 Anak yang harga dirinya tinggi lebih optimis, lebih tekun dalam menyelesaikan tugas (tidak mudah menyerah ketika ada tantangan), dan hasil kerjanya lebih baik daripada anak-anak lain yang punya kemampuan sama tetapi kurang punya kepercayaan diri.4
Salah satu kendala kemajuan bangsa kita adalah kurangnya kepercayaan diri. Bangsa kita membutuhkan generasi percaya diri yang mampu bersaing dengan bangsa lain, berinovasi dengan memanfaatkan segala potensi bangsa (alam dan manusianya), dan berani melakukan terobosan untuk masalah-masalah yang sulit. Pujian yang tepat merupakan salah satu faktor penting untuk menghasilkan generasi itu. Pujian menjadi suatu penegasan bagi anak-anak bahwa mereka mampu dan berguna. Pujian juga memberi mereka energi untuk berani “berpetualang” di dunia ini. Dengan pujian kita sudah bisa berinvestasi bagi masa depan bangsa.
Jadi, kita tidak boleh memandang remeh kata-kata pujian yang kita ucapkan kepada anak. Memberikan pujian sejatinya adalah pekerjaan yang sangat sederhana, tetapi juga tidak mudah dilakukan. Faktor budaya, kepribadian, dan kebiasaan sangat mempengaruhi kesanggupan seseorang untuk memberikan pujian kepada orang lain. Orang yang punya penghargaan diri rendah, misalnya, cenderung sulit untuk memberikan pujian kepada orang lain.
Kita perlu berlatih untuk bisa dan biasa memberikan pujian secara tepat. Bukankah Alkitab juga mengajari kita tentang besarnya dampak perkataan? Sebagai contoh, Amsal 16:24 mengatakan, “Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.” Kita juga diajari untuk tidak sembarangan berbicara (Amsal 10:19; 12:18; 14:19).
Pujian, sebagai suatu bentuk apresiasi yang membangun, adalah seni yang perlu dikuasai setiap orang, khususnya orang tua dan guru. Beberapa contoh pujian/apresiasi sederhana dan bijaksana yang bisa kita berikan kepada anak adalah: ucapan terima kasih atas bantuan anak—sekecil apa pun bantuan itu, kata-kata dorongan bahwa anak bisa melakukan tugasnya, pujian atas kemampuannya yang meningkat, kata-kata yang mengungkapkan betapa berharganya anak, dsb. Dengan semua itu, anak akan berbesar hati untuk berprestasi dan mengharumkan nama bangsa.
Ya, pujian kepada anak sejatinya adalah investasi masa depan bangsa. Marilah kita menjadikannya suatu gaya hidup!
.
Nevi adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan konseling Kristen yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Laura E.Berk. Child Development. Boston: Pearson, 2013, hal. 465.
2 Laura E.Berk, hal. 465.
3 Terri Apter. The Confident Child: Emotional Coaching for the Crucial Decade–Ages Five to Fifteen. New York: W.W. Norton & Company, 1997, hal.17.
4 Terri Apter, hal.18.