Oleh Ericko Sinuhaji
“Zaman sekarang sudah lebih enak daripada zaman dahulu. Dahulu hidup saja susahnya minta ampun. Makan harus seadanya. Tapi semua itu justru menjadi pemacu diri untuk kuliah dengan serius demi hidup lebih baik. Aneh, zaman sekarang mahasiswa justru malas belajar, padahal situasi dan kondisi sudah begitu baik. Mahasiswa sekarang benar-benar kurang tahu bersyukur!”
Merasa akrab dengan perkataan di atas? Ya, perkataan macam itu jamak kita dengar dari orang-orang yang lebih senior (baca: tua)—generasi orang tua kita atau lebih atas lagi. Memang perbandingan yang dikemukakannya memberi rasa tidak menyenangkan di hati kita. Namun, perkataan itu memuat kebenaran. Apalagi kalau kita bandingkan situasi dan kondisi mahasiswa Indonesia masa kini dengan mahasiswa Indonesia masa awal. Keadaan kita benar-benar jauh lebih enak.
Pertama, dalam hal situasi. Hari ini, menjadi mahasiswa sudah seperti kebutuhan wajib dalam jenjang hidup pemuda. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah perguruan tinggi telah mencapai angka 3.098 dan jumlah mahasiswa mencapai angka 3.874.161 orang.1 Jangan lupakan juga fakta bahwa setiap orang berhak kuliah sehingga jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa akan terus bertambah.2 Akses terhadap pendidikan terbuka luas bagi siapa saja yang mau dan mampu.
Jauh berbeda situasinya di masa lampau. Di zaman Bung Karno, jumlah kampus di negeri kita dapat dihitung dengan jari. Orang pribumi baru bisa kuliah di perempat pertama abad ke-20 berkat kebijakan politik etis3—itu pun hanya orang pribumi yang “terpilih” saja.4 Bisa kita bayangkan bahwa menjadi mahasiswa di masa awal itu merupakan perjuangan yang luar biasa. Bahkan sebenarnya mereka diberi kesempatan kuliah untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial saja.
Dua situasi yang jauh berbeda itu, dahulu dan kini, ternyata memunculkan hasil yang bertolak belakang juga. Langkanya kesempatan kuliah membuat mahasiswa masa awal sadar akan pentingnya peran mereka, sebagai kaum terpelajar, untuk mengubah nasib rakyat yang kurang beruntung. Mereka menolak rancangan untuk menjadi pegawai bawahan pemerintah kolonial sekalipun itu merupakan zona nyaman. Sebaliknya, mereka berani memperjuangkan gagasan “Indonesia merdeka” sekalipun itu berarti penjara. Mereka tahu bahwa merdeka akan membukakan berbagai kesempatan yang lebih baik dan luas bagi rakyat Nusantara.
Kontras dengan itu, banyak mahasiswa masa kini lalai melihat daya tarik dari ide berbuat banyak bagi rakyat/sesama. Tekanan ekonomi serta sistem pendidikan yang sejauh ini berpusat kepada nilai formal (angka), bukan nilai substansial (karakter), berperan besar membentuk mental generasi yang menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Sekarang ini tidak pernah kurang berita tentang pejabat yang melakukan korupsi. Tidak dapat kita ingkari bahwa kebanyakan mereka adalah “mantan mahasiswa.” Betapa tujuan pendidikan sudah begitu tercoreng!
Kedua, dalam hal kondisi. Penjajahan yang memiskinkan rakyat Nusantara membuat mahasiswa masa awal hidup dalam keadaan serba terbatas. Tidak banyak pilihan jajanan, belanjaan, dan kesenangan bagi mereka. Tapi, di tengah keadaan yang demikian, “kelaparan” justru memacu mereka berkarya. Mereka lihai mengoptimalkan segala hal yang tersedia. Kesempatan membaca buku dipergunakan sebaik-baiknya sehingga banyak gagasan cemerlang tercipta dari benak mereka. Maka Sukarno melahirkan Pancasila, J. Leimena menggagas puskesmas, Moh. Hatta menelurkan koperasi, dan banyak lagi.
Sekarang, kondisi mahasiswa benar-benar sudah lebih enak dengan segala fasilitas dan kemudahan. Tapi kondisi ini rupanya belum mampu kita sikapi secara dewasa. Budaya hura-hura dan salin-tempel (copas)5 merajalela, mengalahkan gairah membaca dan mencipta yang seharusnya dimiliki mahasiswa. Tentu orang tua punya peran juga dalam hal ini. Kasih sayang berlebihan, yang memberikan segala keinginan anak, sering kali membentuk karakter tidak tahu bersyukur dan hanya tahu mengonsumsi. Ini turut ”berjasa” menjadikan mahasiswa kurang kreatif dan inovatif di dunia kerja.
Bercermin kepada perbandingan situasi-kondisi di atas, kita di masa kini harus menyadari dan mengoptimalkan segala fasilitas dan kemudahan yang tersedia untuk mengelola potensi diri kita secara maksimal demi tujuan besar menciptakan kemaslahatan bersama. Sekarang keadaan kita sudah lebih enak, jadi mari berkarya!
.
Ericko adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Statistik mengenai pertumbuhan jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa dapat dilihat di “Perkembangan Jumlah Perguruan Tinggi” dan “Perkembangan Jumlah Mahasiswa” dalam situs Dikti. <www.pdpt.dikti.go.id/>.
2 Undang-Undang Dasar (UUD) negara kita menjamin hak asasi setiap orang untuk memperoleh pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 mengatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
3Politik etis ini timbul akibat perjuangan kaum etis di negeri Belanda, jadi bukan merupakan hadiah dari Kerajaan Belanda. Pada akhirnya, pelaksanaan politik etis juga diselewengkan untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Lihat “Politik Etis” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis >.
4 Dari kalangan pribumi, pemerintah Belanda hanya memperbolehkan anak-anak pegawai negeri dan keturunan bangsawan untuk mengecap pendidikan. Profesi guru termasuk golongan pegawai negeri di masa itu sehingga keturunannya boleh mendapatkan pendidikan. Bung Karno maupun J. Leimena sama-sama anak guru.
5 Copas adalah singkatan dari copy-paste (salin-tempel). Istilah ini berasal dari fitur perintah yang terdapat di aplikasi program kerja komputer tapi kemudian populer sebagai sebutan untuk tindakan menyalin (secara digital) hasil karya tulis seseorang tanpa menyebutkan sumbernya (plagiarisme).