Oleh Ericko Sinuhaji
Sosok wanita ini tentulah tidak asing lagi bagi para pegiat dan mahasiswa hukum. Dikenal dengan nama Yustisia, dewi keadilan bangsa Romawi ini digambarkan mengenakan penutup mata dan masing-masing tangannya memegang pedang serta timbangan.1 Itu adalah suatu lambang bahwa keadilan seharusnya ditegakkan dengan pertimbangan objektif tanpa terpengaruh oleh kekuasaan atau uang.
Namun, mengingat geliat penegakan hukum dan keadilan di Indonesia hari ini, saya pikir Yustisia sebaiknya digambarkan dengan mata terbuka—sambil tetap memegang pedang dan timbangan. Apa sebab?
Kita sama-sama maklum bahwa mata banyak penegak hukum di negeri ini tertutup terhadap tegaknya hukum dan keadilan. Meruyaknya kasus suap dan mafia hukum di dunia peradilan membuktikan hal ini sekaligus mewujudkan keadaan buruk di tengah bangsa, mirip dengan keadaan yang digambarkan Nabi Yesaya berabad-abad lalu: “Hukum telah terdesak ke belakang, dan keadilan berdiri jauh-jauh.”2 Jelas Yustisia—para penegak hukum—tidak butuh penutup mata karena ia justru harus membuka matanya terhadap apa yang benar.
Menurut saya, keadaan tidak menguntungkan itu terusut balik pula kepada pola pendidikan hukum di negeri kita. Sebagai orang yang turut mengenyam pendidikan tinggi hukum, saya mengamati beberapa hal dalam perkuliahan hukum yang membantu memasangkan “penutup mata” pada para calon penegak hukum.
Hal pertama adalah pengajaran yang cenderung menekankan penghafalan teks-teks peraturan tapi kurang mendorong pemahaman terhadap makna teks-teks itu serta konteks masyarakat tempat peraturan itu diberlakukan. Tidak aneh jika pandangan mahasiswa hukum jadi sering terlindung dari tujuan hukum yang sebenarnya—keadilan. Nanti, setelah menjadi penegak hukum, mereka bisa menegakkan hukum secara kaku sehingga malah membuat putusan-putusan yang tidak adil di Indonesia.
Hal kedua adalah metode pengajaran para dosen hukum yang secara umum (artinya, selalu ada pengecualian) bersifat satu arah. Metode macam ini jelas kurang menggugah semangat mahasiswa hukum untuk berpikir kritis sehingga tidak melihat/mengenali seluk-beluk permasalahan ketidakadilan di tengah masyarakat. Kelak ini akan berimbas pada kendurnya perjuangan para pembaharu hukum untuk mengubah kebijakan-kebijakan korup yang selama ini hanya menguntungkan pihak tertentu.
Hal ketiga adalah tiadanya kewajiban mahasiswa hukum untuk mengikuti suatu pembelajaran praktik hukum semasa kuliah, misalnya magang di biro hukum ataupun institusi hukum lainnya. Tujuan praktik ini adalah untuk melatih keberanian mahasiswa hukum untuk “menatap langsung” masalah-masalah nyata di bidang hukum. Bukankah segala suap dan mafia hukum hanya dapat diberantas apabila para penegak hukum berani melakukannya tanpa peduli ancaman bahaya yang menghadang mereka?
Itulah hal-hal dari pola pendidikan hukum di negeri kita yang, menurut pengamatan-berdasarkan-pengalaman saya, turut membuat mata banyak sarjana hukum tertutup terhadap tujuan hakiki hukum. Dengan mata tertutup, bisa diperkirakan kejatuhan akan mudah terjadi saat ada sandungan berupa godaan penyelewengan kuasa untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, kuasa di tangan penegak hukum, yang seharusnya digunakan untuk membela keadilan, malah disalahgunakan untuk menindas pihak lemah demi meraup keuntungan diri. Juga pasal-pasal undang-undang justru dicari “celahnya” untuk membenarkan pihak yang salah.
Tentulah kita tidak ingin menunggu negeri ini runtuh dulu baru keadilan ditegakkan di atasnya. Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan hukum dibenahi agar sosok-sosok penegak dan pembaharu hukum yang ideal hadir di tengah bangsa. Yustisia memang sebaiknya tidak berpenutup mata—meski tetap memegang pedang dan timbangan—untuk melambangkan para penegak hukum yang harus celik terhadap tegaknya hukum dan keadilan. Mereka ini senang menyuarakan kebenaran, seturut titah bijak Kitab Amsal, “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka.”3
Ya, bukalah penutup matamu, dan bukalah mulutmu, wahai Yustisia—para penegak hukum. Tegakkanlah keadilan di negeri!
.
Ericko adalah seorang alumnus jurusan hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Lihat “Lady Justice” dalam situs Wikipedia.<http://en.wikipedia.org/wiki/Lady_Justice >.
2 Lihat Yesaya 59:14.
3 Lihat Amsal 31:8-9.
Ide mencopot “penutup mata” sang Lady of Justice menurut saya adalah ide brilian..
Sebenarnya tujuan dirancangnya penutup mata Lady of Justice adalah benar namun MUNGKIN tidak tepat guna apabila digunakan di Indonesia.
Banyak praktisi hukum yang nampaknya tidak mampu untuk menafsirkan arti sebenarnya dari “penutup mata” tersebut, atau mungkin terlalu pintar beralibi menafsirkan berbeda “penutup mata” tersebut.
Jadi, khusus untuk di Indonesia lebih baik Lady of Justice nya copot penutup mata supaya praktisi hukum “mampu” menafsirkan.