Oleh Sahat Sinurat
“Bang Sahat, bagaimana pendapat organisasi1 Abang tentang pemerintahan saat ini?”
Pertanyaan itu dilontarkan penyiar kepada saya, satu di antara empat mahasiswa yang diundang sebagai narasumber dalam acara bincang-bincang di Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung. Acara yang disiarkan secara langsung ini rutin diadakan setiap hari Senin untuk mendorong mahasiswa peduli dan memikirkan permasalahan bangsa. Selain saya, hadir juga narasumber dari organisasi pemuda Islam dan Katolik.2
Saya yang baru pertama kali hadir di stasiun radio milik pemerintah itu sempat kelabakan. Jawaban saya mungkin akan dianggap mewakili pendapat mahasiswa Kristen pada umumnya. Jadi, saya harus menyampaikannya dengan matang dan hati-hati.
Sebelum saya, rekan mahasiswa lain telah menjawab bahwa sistem pemerintahan saat ini salah dan harus diganti dengan sistem pemerintahan berdasarkan agama. Namun, saya memiliki pandangan yang berbeda.
“Sistem pemerintahan kita sudah ideal, Kang,” kata saya. “Sayangnya, orang-orang yang menjalankannyalah yang bermasalah.”Saya pun memberikan contoh-contoh untuk pernyataan saya itu lalu menutup dengan berkata, “Ketika orang-orang baik memilih untuk diam dan tidak masuk ke dalam sistem, maka orang-orang jahat yang akan menjalankan sistem tersebut, Kang.”
Pandangan-pandangan tentang sistem pemerintahan yang mengemuka dalam acara itu mungkin menarik untuk dibahas lebih lanjut. Namun, dalam tulisan ini, saya ingin membahas hal lain yang tak kalah menarik: fakta bahwa kehadiran mahasiswa Kristen masih dianggap penting dalam forum-forum kebersamaan seperti itu. Anggapan ini tentu saja baik (dan sesuai dengan UUD 1945) karena memberi kita, mahasiswa Kristen, kesempatan untuk unjuk partisipasi dalam memikirkan permasalahan bangsa dan mengasah jiwa nasionalis kita.
Sayangnya, tidak banyak mahasiswa Kristen yang mau terlibat dalam forum-forum seperti itu. Sebagian sibuk dengan kegiatan perkuliahan yang dirasa sudah menyita banyak waktu. Sebagian lagi lebih tertarik mengikuti kegiatan senang-senang belaka. Sebagian yang lain lagi sudah puas dengan kegiatan di gereja ataupun persekutuan dan menganggap kegiatan menghadiri forum-forum seperti itu bukanlah pelayanan yang menyenangkan hati Tuhan.
Namun, saya teringat bahwa pada masa penjajahan banyak mahasiswa Kristen unjuk partisipasi dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka mau memberikan pikiran, tenaga, bahkan nyawa—dengan digerakkan oleh pemahaman tentang ide-ide Alkitab—untuk menghadirkan keadilan dan kedamaian bagi masyarakat Indonesia yang terjajah. Johannes Leimena, Amir Sjarifuddin, A.A. Mononutu adalah beberapa nama beken di antara mereka.
Partisipasi mereka mengungkapkan ide besar tentang Kristen-nasionalis yang selalu mereka yakini sejak mahasiswa. Amir Sjarifuddin menyatakan, “Seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi nasionalis yang baik.”3 Johannes Leimena mengatakan, “Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang daripada orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pencinta tanah air, warganegara yang bertanggungjawab, dan nasionalis yang sejati.”4
Ide besar yang sama harus dijunjung dan diperagakan pula oleh mahasiswa Kristen masa kini. Kita harus tekun memperdalam iman sebagai pondasi utama hidup dan karya lewat pendalaman Alkitab. Namun, kita juga harus memperdalam ilmu dengan banyak membaca, berdiskusi, dan melatih kemampuan kita. Kita harus bisa membahas topik-topik kekristenan dan kebangsaan/kemasyarakatan secara kritis dan kontekstual. Dalamnya iman dan ilmu akan mendorong kita untuk mempertinggi pengabdian kepada Tuhan dan tanah air. Dengan demikian kita menjadi orang Kristen merangkap nasionalisyang baik dan sejati.
Kembali ke kisah di RRI Bandung. Sebelum saya pulang, penyiar sempat bertanya, “Bang, adakah organisasi mahasiswa Kristen lainnya yang bisa diajak berdiskusi tentang permasalahan bangsa?”
Saya tertegun mendengar pertanyaan itu. Suara mahasiswa Kristen masih dicari dan dibutuhkan. Namun, sedihnya, tidak banyak organisasi mahasiswa Kristen yang tertarik untuk unjuk partisipasi dalam forum-forum seperti itu. Ruang-ruang publik sering kali kehilangan suara mahasiswa Kristen yang menyampaikan gagasan-gagasan tentang keindonesiaan dengan digerakkan oleh pemahaman tentang ide-ide Alkitab.
Maka saya kira sudah saatnya kita gaungkan kembali ide penting ini: mahasiswa Kristen yang baik adalah sekaligus nasionalis yang baik.
.
Sahat adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan studi pembangunan yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Organisasi yang waktu itu (dan sampai kini) saya ikuti adalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). GMKI berdiri pada tahun 1950 dengan ciri ekumenis dan nasionalis.
2 Waktu itu saya menjabat sebagai ketua Badan Pengurus Cabang GMKI Bandung.
3“Kang” adalah kependekan dari “akang,” yakni “abang” dalam bahasa Sunda.
4Jones Batara Manurung. “Mengenang 104 Tahun Mr Amir Sjarifuddin Sang Pembaru (27 April 1907)” dalam blog Catatan dan Tulisan Kawan. <http://ceritadariteman.blogspot.com/2011/03/mengenang-100-tahun-mr-amir-sjarifuddin.html>.
5 Johannes Leimena. “Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab” dalam situs Institut Leimena. <http://leimena.org/id/page/v/757/kewarganegaraan-yang-bertanggung-jawab>.