Mahasiswa Kristen yang “Mahasiswa”

Salam sejahtera di bulan tujuh 2014, Sidang Pembaca!

Mahasiswa senantiasa diharapkan jadi ujung tombak pembangunan bangsa. Ini sangat logis karena  mahasiswa akan menjadi sarjana, orang berilmu tinggi yang harus merambah dan mengembangkan berbagai sektor kehidupan berbangsa. Sebab itu masa kemahasiswaan haruslah dimanfaatkan baik-baik untuk mengasah diri dalam kecendekiaan yang merupakan jati diri kesarjanaan. Mahasiswa Kristen, sebagai bagian dari mahasiswa secara keseluruhan, mesti selalu mencamkan hal ini.

Sayangnya, ada banyak mahasiswa Kristen yang bersungguh-sungguh jadi “Kristen” tapi tidak/kurang bersungguh-sungguh jadi “mahasiswa.” Mereka begitu larut dalam kerohanian sehingga malah gawal menguasai fitur-fitur kemahasiswaan sejati, misalnya gemar dan luas membaca, sigap berpikir kritis-analitis, cakap menulis. Mereka gawal mengenali, secara kristiani, panggilan kemahasiswaan itu sendiri. Empat peladang Komunitas Ubi (Kombi)—semua mantan mahasiswa—mengupas ihwal tersebut dalam empat tulisan inspiratif.

Viona Wijaya bercerita tentang serunya tampil di ajang debat antar kampus. Ia memandang penting mahasiswa Kristen menemukan “panggung” seperti ini untuk asah bakat dan unjuk kemampuan. Mahasiswa Kristen, katanya, haruslah bermutu tinggi: tak hanya mantap secara rohani, tapi juga mantap secara keilmuan.

Sahat Sinurat mengisahkan asyiknya hadir dan bersuara dalam acara bincang-bincang mahasiswa di radio pemerintah. Ia menilai penting mahasiswa Kristen tidak menjauh dari forum kebersamaan seperti ini sehingga dapat turut menyumbangkan pemikiran bagi bangsa. Mahasiswa Kristen yang baik, katanya, adalah sekaligus nasionalis yang baik.

Edy Agustinus bertutur tentang perkumpulan mahasiswa Kristen yang tidak menggenapi tujuannya sendiri untuk berdampak bagi bangsa. Kegiatan yang melulu rohani, menurutnya, menyukarkan penggenapan tujuan itu. Ia pun mengusulkan upaya-upaya pembenahan agar perkumpulan mahasiswa Kristen bisa menghasilkan pemimpin dan penggerak di tengah bangsa.

S.P. Tumanggor mewawancarai seorang mantan pejabat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka. Rekan ini memaparkan mengapa dan bagaimana ia bisa aktif di pelayanan mahasiswa Kristen, himpunan fakultas, dan BEM. Ranah kebersamaan seperti BEM, menurutnya, perlu diterjuni mahasiswa Kristen guna menghindari keeksklusifan dan menghayati keindonesiaan.

Keempat peladang di atas menyingkapkan fakta muram bahwa ideal sepak terjang mahasiswa kerap terkaburkan dalam pikiran banyak mahasiswa Kristen. Sialnya, kekaburan itu tak jarang terjadi lantaran keaktifan mereka di kerohanian Kristen. Kombi berharap tulisan-tulisan bulan ini dapat membantu sesuatu dalam menanggulangi masalah ini, sehingga mahasiswa Kristen Indonesia bukan hanya benar-benar “Kristen,” tapi juga benar-benar “mahasiswa.”

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *