Oleh Daniel Siahaan
“Anda bergereja di mana?” Pertanyaan seperti itu pasti sudah tidak asing lagi bagi kita, orang Kristen. Di negeri kita, Indonesia, bahkan di dunia, ada begitu banyak gereja dan kita menjadi anggota dari salah satunya. Tak heran ketika sesama orang Kristen bertemu, pertanyaan itu biasa muncul.
Pertanyaan tentang bergereja di mana biasanya bukan untuk sekadar mencari tahu lokasi gereja seseorang, tetapi juga denominasi gereja orang itu. Waktu kita tahu orang itu sedenominasi dengan kita, rasa kekeluargaan mudah muncul di hati. Tetapi waktu kita tahu orang itu berbeda denominasi dengan kita, bisa jadi rasa tidak sekeluarga mencuat di hati.
Rasa tidak sekeluarga sebetulnya keliru jika orang Kristen dari denominasi berbeda itu sama-sama memegang kepercayaan ortodoks kristiani, khususnya yang pokok: Yesus Kristus adalah Juruselamat dari Allah dan orang yang beriman kepada-Nya mendapatkan hidup kekal (Yoh. 3:16). Hidup kekal, sebagaimana disaksikan Alkitab, adalah hidup sempurna di langit dan bumi yang baru di kekekalan (Why. 20-22).
Di kekekalan itu, masih menurut kesaksian Alkitab, tidak ada denominasi gereja apa pun. Kita semua bersatu padu sebagai “himpunan besar orang banyak” yang dibeli Yesus dengan darah-Nya “dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Why. 19:6; 5:9). Artinya, di sana kita akan menanggalkan segala atribut/embel-embel denominasi dan menjadi pengikut Kristus belaka alias orang “Kristen doang.”1
Ya, kekekalan akan “memaksa” kita menjadi orang Kristen doang—tanpa terpecah-belah oleh hal-hal seperti pengajaran, tata cara, ketokohan orang, dsb. Gereja-gereja dari segala denominasi akan dipersatukan Allah menjadi, boleh dibilang, Gereja Kristen doang. “Kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka” (Why. 21:3). Inilah kesatuan Gereja yang sempurna di langit dan bumi yang baru. Pertanyaan seperti “Anda bergereja di mana?” tidak relevan lagi di sana.
Jika pertanyaan seperti itu tidak relevan di kekekalan, maka kita di bumi seharusnya tidak perlu menjadikan denominasi soal penting—apalagi menjadi fanatik dengannya. Kita, umat Kristen, sudah dipersatukan Kristus sebagai “anggota-anggota keluarga Allah” (Ef. 2:19). Denominasi justru berpotensi membuyarkan rasa kekeluargaan yang semestinya ada di antara umat Kristen di seluruh dunia.
Buyarnya rasa kekeluargaan sudah pasti menyulitkan umat Kristen untuk bergerak bersama mengatasi masalah-masalah dunia: pertikaian, kelaparan, kemiskinan, sakit penyakit, dst. Bagaimana mau mengatasi masalah dunia bersama-sama jika satu sama lain saja kita bermasalah dan tidak merasa sekeluarga? Jadi, buyarnya rasa kekeluargaan umat Kristen tidak bermanfaat bagi dunia dan bagi umat Kristen sendiri. Kita, yang sudah menyadari “masalah keluarga” itu, perlu ambil bagian dalam penanggulangannya.
Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah mengubah sikap hati kita terhadap denominasi gereja dengan mengacu kepada kesatuan Gereja di kekekalan. Meskipun di dunia ini kita masih bernaung di bawah payung denominasi gereja yang berbeda-beda, kita bisa menumbuhkan semangat Kristen doang yang memandang pengikut Kristus dari latar denominasi gereja lain sebagai sesama anggota keluarga—seperti di kekekalan nanti. Semangat “Kristen doang” memompa rasa kekeluargaan kristiani yang melampaui segala perbedaan denominasi.
Jika makin banyak orang Kristen yang menghayati semangat Kristen doang, energi umat Kristen bisa difokuskan untuk memperjuangkan pekerjaan-pekerjaan baik yang memuliakan Allah serta berguna bagi manusia dan dunia. Kekeluargaan yang kompak di antara kita akan memungkinkan kita lebih berasa sebagai “garam” di berbagai bidang kehidupan.
Sungguh baik dampak penghayatan semangat Kristen doang bagi umat Kristen dan bagi dunia! Ya, rasa kekeluargaan haruslah berlimpah-limpah di antara sesama pengikut Kristus di bumi, karena di kekekalan memangnya kita akan bergereja di mana?
.
Daniel adalah seorang alumnus jurusan teknik mesin yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Istilah dan ide “Kristen doang” dalam tulisan ini dipungut dan dikembangkan dari Sam Tumanggor. Di Bumi Seperti di Surga #1. Bandung: satu-satu, 2015, hal. 157-167.