Oleh Victor Sihombing
“Jangan turunkan harga bayam! Jangan turunkan harga bayam!”
Teriakan para petani bayam membahana di luar pagar kantor Kementerian Hortikultura. Dari lantai delapan, suara mereka terdengar jelas oleh Bakir. Suasana kantor kementerian yang saat ini dipimpinnya terasa jadi gerah.
“Apakah Bapak tidak mau turun dan berdialog dengan mereka?” tanya Tajak. Wartawan muda itu sudah berada di ruangan Bakir selama tiga jam, mendengarkan penjelasan Bakir tentang kebijakan penurunan harga bayam.
“Untuk apa?”
“Mereka putus harapan, Pak,” jawab Tajak pelan. “Menteri sudah berganti-ganti, dengan beragam kebijakan, tapi kesejahteraan tidak kunjung datang. Mereka punya banyak masalah dan ingin ‘berembuk.’ Selama ini mereka tidak diajak berdialog. Maka mereka berpikir untuk berunjuk rasa saja.”
“Untuk apa? Banyak ruginya!” Suara Bakir agak meninggi. “Saat mereka berunjuk rasa, pengguna jalan terganggu dan ada potensi besar kerusuhan, sehingga polisi harus disiagakan. Kebanyakan orang ingin menghindari tempat unjuk rasa. Itu tanda bahwa masyarakat terganggu oleh unjuk rasa.”
Tajak terdiam, sementara Bakir mendengus kesal sambil menatap ke luar jendela.
“Bukankah unjuk rasa itu tanda rakyat ingin berdialog dengan pemerintah, Pak?” Tajak memberanikan diri berbicara. Ia merasa perlu bersuara mewakili rakyat.
“Lalu untuk apa ini?” Bakir menunjuk papan tulis di dekat mejanya yang penuh dengan tulisannya. Ia berharap selepas pertemuan hari ini, Tajak bisa menjelaskan kebijakan kementeriannya lewat sebuah artikel di koran nasional tempat Tajak bekerja.
Tajak menghela nafas sepelan mungkin. Teriakan para petani bayam makin lantang terdengar.
“Maaf, Pak. Setahu saya dialog itu dilakukan dua arah. Dialog mendekatkan pihak-pihak yang menjadi lawan bicara. Lewat dialog, kita belajar memahami dan memberi diri kita untuk dipahami. Memahami dan dipahami adalah kebutuhan dasar manusia. Manusia jadi utuh ketika berdialog. Itulah sebabnya dialog penting, Pak.”
Bakir terdiam menatap ke luar jendela. Tampaknya tuturan Tajak mengena di hatinya. Tajak pun melanjutkan kata-katanya.
“Saya kira pemerintah yang berdialog dengan rakyat adalah pemerintah yang manusiawi, Pak. Mereka punya telinga untuk mendengar dan memahami rakyat. Bukankah blusukan sudah jadi tren sekarang? Presiden kita mencontohkannya. Beliau masuk ke pasar-pasar dan kampung-kampung untuk mendengar keluh kesah rakyat.”
“Ya, saya tahu. Presiden memang kerap meminta kami, para menteri, turun ke lapangan untuk berdialog dengan masyakarat.”1
“Nah, lewat dialog itu pemerintah bisa mendapat masukan untuk membuat program-program yang lebih baik. Rakyat pun jadi memahami maksud pemerintah. Ini menguntungkan keduanya. Program-program pemerintah yang tepat guna dan menyejahterakan rakyat akan terlaksana. Pemerintah yang berdialog akan dicintai rakyat.”
“Ada benarnya perkataanmu itu, Jak. Tri Rismaharini, walikota Surabaya, contohnya. Ia banyak berdialog dengan warganya sehingga bisa mengurus kota Surabaya dengan baik. Kemarin ia bahkan terpilih kembali sebagai walikota.”2
“Karena itu, dialog pemerintah-rakyat perlu terus diusahakan, Pak.”
“Adakah yang mau kamu sarankan?”
“Media massa atau media sosial sebaiknya jangan cuma dijadikan sarana pengumuman kebijakan. Lewat media, petani hortikultura perlu diberi ruang untuk bertanya atau berbicara mengenai program pemerintah. Bapak perlu menemui petani hortikultura di berbagai tempat. Kantor kementerian Bapak perlu terbuka bagi mereka untuk berkeluh-kesah. Jika dialog lancar, saya yakin bahwa lama-kelamaan mereka bisa merasa tidak perlu berunjuk rasa.”
Bakir tersenyum. Wartawan muda asal kabupaten kecil itu mencerahi pikirannya, seorang lulusan sekolah pertanian luar negeri.
“Menurut saya,” lanjut Tajak, “para petani di luar sana siap berdialog, Pak. Mereka mau merembukkan harapan kesejahteraan yang ada di angan-angan mereka dan yang ada di angan-angan Bapak. Toh mereka juga sadar bahwa kesejahteraan tidak datang tiba-tiba dalam satu malam.”
Bakir teringat hari ketika ia membaca berita tentang betapa miskinnya petani bayam di Indonesia. Waktu itu ia tak kuasa menahan air matanya. Tak berapa lama kemudian ia diminta pulang ke Indonesia untuk menjadi menteri hortikultura. Tanpa ragu ia menyanggupinya. Tekadnya satu: menyejahterakan para petani.
“Ayo kita turun ke luar pagar!” kata Bakir sambil memegang bahu Tajak.
“Mau apa, Pak?”
“Merembukkan kesejahteraan.”
.
Victor Sihombing adalah seorang karyawan di bidang konstruksi fasilitas industri yang tinggal di Depok, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Terungkap, Metode Blusukan Baru Presiden Jokowi” dalam situs Tempo. <http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/06/078716681/terungkap-metode-blusukan-baru-presiden-jokowi>.
2 “Ini Hasil Pilkada Surabaya” dalam situs Republika. <http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/15/12/16/nzgd5l335-ini-hasil-pilkada-surabaya>.