Oleh Melissa Chen
Di samping rumah orang tua saya di Tulungagung, Jawa Timur, berdirilah sebuah gereja tua yang dikitari pohon-pohon arbei. Sewaktu berumur empat tahun, saya pernah memanjat pagar gereja itu untuk memetik buah arbei. Ternyata pohon-pohon arbei itu dihuni banyak ulat. Alhasil saya pulang dengan rasa gatal di sekujur lengan—tanpa membawa sebutir pun buah arbei. Sungguh tak terlupakan perjumpaan pertama saya dengan makhluk berbulu yang menggatalkan itu!
Meski ulat sempat menimbulkan trauma di masa kecil, bukan berarti saya lantas anti dengannya. Saya kemudian tahu bahwa ulat akan berubah wujud atau bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, serangga bersayap elok yang berjasa membantu penyerbukan tanaman. Dalam tahapan metamorfosisnya, mula-mula telur menetas menjadi ulat. Selanjutnya, ulat meluruhkan kulit lalu menjadi kepompong. Akhirnya, dari buntalan kepompong itu keluarlah kupu-kupu yang cantik.1
Dalam kekristenan, saya mendapati suatu metamorfosis yang indah pula. Namun, metamorfosis yang berlaku pada manusia ini bukanlah perubahan wujud fisik atau lahiriah, melainkan perubahan “wujud” batin. Dalam Alkitab disebutkan, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Kor. 5:17). “Yang lama” bermetamorfosis menjadi “yang baru”!
Istilah “yang lama” menunjuk kepada tabiat manusia secara alami, yakni cenderung berbuat dosa. “Di dalam Kristus,” yakni melalui iman kepada Kristus yang telah mati dan bangkit dalam peristiwa Jumat Agung dan Paskah, “yang lama” diubah Allah menjadi “yang baru”—menjadi “ciptaan baru.” Manusia ciptaan baru diberi Allah tabiat baru yang tidak lagi senang berbuat dosa, walau sebagai manusia ia masih bisa jatuh ke dalam dosa.
Manusia dengan tabiat yang lama adalah seumpama ulat, merugikan karena merusak tanaman dan tidak sedap dipandang. Namun, manusia dengan tabiat yang baru adalah seumpama kupu-kupu, berguna dalam penyerbukan tanaman dan sedap dipandang. Tak heran kupu-kupu telah digunakan umat Kristen sebagai lambang hidup baru, yakni hidup yang dijalani oleh ciptaan baru.
Sebagaimana kupu-kupu membantu penyerbukan tanaman sembari mengisap nektar, demikianlah ciptaan baru membantu tumbuhnya hal-hal yang positif di tengah masyarakat. Jika dulu ia pemadat, kini ia “bersih” dan mau membantu penyuluhan anti narkoba. Jika dulu ia pencuri, kini ia bekerja secara halal dan mau berbagi dengan sesama.
Dan sebagaimana kupu-kupu sedap dipandang, demikianlah ciptaan baru punya kadar keindahan yang memancar dari tabiat barunya. Jika dulu ia sering bertindak keras terhadap orang lain bahkan keluarga sendiri, kini ia sabar dan penyayang. Jika dulu ia abai terhadap lingkungan, kini ia peduli bermasyarakat.
Saya percaya setiap orang dapat menjadi ciptaan baru. Dunia kita dan negeri kita butuh para ciptaan baru yang melakukan pekerjaan baik di segala bidang kehidupan: pebisnis ciptaan baru yang bertransaksi secara jujur dan tidak menggelapkan pajak, karyawan ciptaan baru yang bekerja seefektif dan seefisien mungkin, guru ciptaan baru yang penuh pengabdian dalam melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa, ibu rumah tangga ciptaan baru yang mengurus keluarga dan mendidik anak-anaknya di jalan yang lurus.
Dalam masa Jumat Agung dan Paskah ini saya mengajak kita merenungkan keadaan batin kita. Sudahkah kita menjadi ciptaan baru yang berguna untuk sesama? Atau masihkah kita dipecundangi kuasa dosa sehingga gemar melakukan hal-hal yang tidak benar? Apakah pikiran, ucapan, dan tindakan kita “menggatalkan” bagi orang-orang di sekitar kita? Jika kita ternyata masih seperti itu, kita tidak perlu berkecil hati. Kristus telah mati dan bangkit untuk kita agar kita, lewat iman kepada-Nya, dapat mengalami metamorfosis batin.
Pohon-pohon arbei di halaman gereja tua itu akhirnya ditebang. Meski demikian, setiap kali saya mengunjungi gereja itu, peristiwa naas mencari arbei dan mendapat ulat masih tetap segar dalam ingatan—sebagai kenangan manis masa kecil. Dan kini, setiap kali saya bersinggungan dengan orang-orang yang serupa ulat gatal, saya bisa bersabar sambil berharap bahwa suatu hari orang tersebut dapat bertobat dan menjadi pribadi yang seindah kupu-kupu.
.
Melissa Chen adalah seorang guru yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur.
.
Catatan
1 “Metamorphosis” dalam situs Butterfly School. <http://www.butterflyschool.org/new/meta.html>.