Oleh Daniel Siahaan
Di awal abad ke-20, dalam selang waktu hampir 20 tahun, lahirlah dua pria yang kelak menjadi sastrawan beken Indonesia. J.E. Tatengkeng lahir lebih dulu pada tahun 1907 di Sangihe, Sulawesi Utara, sedangkan Y.B. Mangunwijaya lahir kemudian pada tahun 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah.1
Kedua sastrawan itu memiliki beberapa kesamaan. Keduanya sama-sama orang Kristen yang mengenyam pendidikan tinggi.2 Keduanya juga—ini yang sangat menarik—sama-sama menyumbangkan karya sastra bagus yang, meski mengandung nilai-nilai kristiani, berterima secara luas di tengah masyarakat Indonesia. Karya-karya itu menjadi karya sastra umum, bukan “sastra Kristen.”
Jan Engelbert Tatengkeng, yang biasa dipanggil “Om Jan,” menelurkan beberapa prosa dan banyak puisi, antara lain yang dimuat dalam buku kumpulan puisinya, Rindu Dendam (1934). Puisi-puisi gubahan sastrawan merangkap tokoh politik dan tokoh pendidikan ini mencerminkan penghayatannya akan iman Kristen. Kebanyakan darinya tidak bersifat gamblang Kristen sehingga mudah dinikmati pembaca dari latar agama apa pun.
Sebagai contoh, puisi Anakku mencuatkan ketawakalan kepada Tuhan ketika menghadapi kematian anak. Puisi Kuncup menggambarkan kembang di dahan sebagai ciptaan indah yang memuliakan Penciptanya. Puisi Kucari Jawab menyuarakan kerinduan universal manusia terhadap kebenaran ilahi—sewaktu Tatengkeng berkata, antara lain, “O, Tuhan yang Maha tinggi/Kunanti jawab petang dan pagi/Hatiku haus ‘kan kebenaran/Berikan jawab di hatiku sekarang.”3
Tak heran puisi-puisi Om Jan dapat diapresiasi dan dinikmati orang Indonesia secara umum. Alhasil ia pun terus dikenang bangsa Indonesia, setidaknya lewat pelajaran sastra, yang menaruhnya di jajaran para sastrawan ternama Indonesia masa lalu: Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah—para penyair “pujangga baru.”4
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, yang kerap disebut “Romo Mangun,” seayun langkah pula dengan Om Jan. Sastrawan rohaniwan, pendidik, sekaligus arsitek ini sering “menyelipkan” nilai-nilai kristiani dalam novel umum gubahannya. Satu nilai kristiani yang jadi identik dengan Romo Mangun adalah pembelaan terhadap orang-orang tertindas.
Sebagai contoh, dalam novel trilogi Roro Mendut (1983), Genduk Duku (1987), dan Lusi Lindri (1994), ia menceritakan kisah para wanita tangguh yang melawan pelecehan, penderitaan, kezaliman, dan diskriminasi pada tahun 1600-an.5 Dalam novel Burung-burung Rantau (1992), ia menjelma menjadi salah satu tokoh yang berbicara, “[P]atriotisme masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, yang hina, yang miskin, yang tertindas.”6
Lewat novel-novelnya, Romo Mangun menuai pujian dari berbagai kalangan: rohaniwan, cendekiawan, seniman, tokoh politik, dan masyarakat umum. Novel Burung-burung Manyar (1981) bahkan dianugerahi penghargaan oleh Ratu Sirikit dari Thailand di ajang Penghargaan Karya Tulis Asia Tenggara 1983. Sungguh pencapaian yang hebat!7
Sepak terjang Om Jan dan Romo Mangun membuktikan bahwa kekristenan bisa mengilhami lahirnya karya-karya sastra umum yang bagus dan yang dihargai oleh masyarakat luas. Sepak terjang mereka juga membuktikan bahwa sastra dapat menjembatani penyampaian nilai-nilai kristiani, khususnya yang berciri universal, sehingga berterima di tengah masyarakat umum.
Maka sungguh disayangkan kalau Gereja Indonesia, yakni umat Kristen Indonesia, pasif membidani kelahiran sastrawan dari antara umat Kristen. Gereja Indonesia seharusnya mampu menghasilkan barisan sastrawan yang mahir membuat karya sastra umum dengan muatan nilai-nilai kristiani—bukan yang bersifat gamblang Kristen. Tentu saja karya sastra yang gamblang Kristen tetap bisa dibuat. Akan tetapi, karya sastra yang tidak gamblang Kristen juga perlu dibuat supaya nilai-nilai baik dari kekristenan ikut bersumbangsih bagi bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Kemunculan sastrawan umum kristiani—seperti Om Jan dan Romo Mangun—akan memperkaya kehidupan dengan ide dan pola pikir baik ala Kristen. Kemunculan penulis Kristen genre non-sastra, dengan tulisan-tulisan yang umum tetapi bernilai kristiani, juga akan menyumbangkan hal serupa. Gereja perlu mendukung kemunculan dan kiprah para penulis Kristen, apa pun jenis tulisannya.
Selama hidupnya Om Jan dan Romo Mangun telah menyumbangkan karya-karya sastra umum dengan nilai kristiani yang berhasil menembus jaman. Saat ini, setelah hampir 20 tahun nama terakhir itu meninggalkan dunia, sudahkah Gereja Indonesia memunculkan pengganti-pengganti mereka?
.
Daniel adalah seorang alumnus jurusan teknik mesin yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Jan Engelbert Tatengkeng” dalam situs Bio-Kristi. <http://biokristi.sabda.org/jan_engelbert_tatengkeng>; “Y.B. Mangunwijaya” dalam situs Bio-Kristi. <http://biokristi.sabda.org/selayang_pandang_y_b_mangunwijaya>.
2 “Jan Engelbert Tatengkeng,” Bio-Kristi; “Y.B. Mangunwijaya,” Bio-Kristi.
3 Teks puisi-puisi J.E. Tatengkeng ini dapat dilihat, antara lain, dalam blog Mjbrigaseli <http://mjbrigaseli.blogspot.co.id/2015/10/kumpulan-puisi-je-tatengkeng.html> dan blog Rumahdocata <http://rumahdocata.blogspot.co.id/2014/08/je-tatengkeng-rindoe-dendam-solo-chr.html>.
4 Pujangga Baru adalah angkatan sastrawan Indonesia yang pada tahun 1933. Pujangga Baru menerbitkan majalah kesusastraan Poedjangga Baroe, yang sempat memuat puisi-puisi gubahan J.E. Tatengkeng.
5 Chatarina Puramdari. “Rakyat Kecil, Pilihan Awal dan Akhir Romo Mangun” dalam situs Mangunwijaya. <http://mangunwijaya.blogspot.co.id/>; “Rara Mendut (Sebuah Trilogi)” dalam blog Omah Geni <https://bukupung.wordpress.com/2011/04/26/rara-mendut-sebuah-trilogi-cinta-vz-kekuasaan/>.
6 “Y.B. Mangunwijaya Quotes” dalam situs Old Quotes. <http://oldquotes.com/view.php?tag=y.b.+mangunwijaya>.
7 “Y.B. Mangunwijaya,” Bio-Kristi.