Oleh Nadya Sumolang
“Saya harap kalian nanti dapat menjadi dokter yang bermata elang, berhati singa, dan bertangan wanita setelah mengikuti pembelajaran di sini.” Pesan menggelitik itu saya dengar dari dosen yang memberikan kuliah Keterampilan Belajar. Waktu itu adalah hari pertama saya duduk di bangku fakultas kedokteran (FK), tempat lahirnya orang-orang yang bertugas mengafiatkan/menyehatkan bangsa.
Seketika muncullah gejolak dalam diri saya. Pesan itu saya pertanyakan: mengapa seorang dokter harus bermata elang, berhati singa, dan bertangan wanita? Padahal, menurut pikiran saya saat itu, untuk menjadi dokter sudah cukup dengan menghafal gejala penyakit, menghafal daftar obat, dan pandai mencocokkan gejala penyakit dengan obat yang sesuai. Pasien bisa menjadi afiat dengan semua itu.
Rasa penasaran pun mendorong saya menjelajahi internet. Setelah memasukkan kata-kata kunci di mesin pencari, saya menemukan bahwa dosen saya ternyata mengutip perkataan yang aslinya berbunyi, “Dokter bedah yang baik harus memiliki mata elang, hati singa, dan tangan wanita.”1
Walau perkataan aslinya berbicara tentang dokter bedah, saya sangat setuju bahwa dosen saya mengalamatkannya kepada para dokter secara umum. Ketiga hal itu penting untuk menjadi dokter ideal, pengafiat yang cakap. Saya memahaminya berdasarkan pengalaman pribadi belajar di FK. Biarlah saya menjelaskannya berdasarkan ketiga ungkapan dalam kutipan itu.
Pertama, dokter ideal haruslah bermata elang, tajam melihat kondisi pasiennya. Bukan hanya dokter bedah yang harus bermata elang untuk melihat anatomi tubuh, semua dokter pun harus jeli dalam menilai penyakit pasien. Fakta banyaknya pasien yang kurang/tidak mampu menjelaskan keluhannya mengharuskan para pengafiat untuk menentukan diagnosis yang tepat dengan “mata elang.”
Di FK, ilmu kedokteran yang diberikan kepada saya bukan melulu hafalan teori buku teks saja. Saya juga diberi soal kasus berdasarkan keadaan yang nyata terjadi di tengah masyarakat. Sering kali gejala dalam soal kasus berbeda dengan gejala yang saya hafalkan dari buku teks. Jadi, saya harus menggunakan “mata elang” untuk menentukan penyakit yang dimaksud dalam soal kasus.
Kedua, dokter ideal haruslah berhati singa, berani menghadapi setiap tantangan. Bukan hanya dokter bedah yang harus berhati singa untuk “membongkar” tubuh, semua dokter pun harus berani menjalankan tugasnya dengan, antara lain, mengambil keputusan penentu hidup-mati seseorang, mengembangkan penelitian baru, dsb. Para pengafiat juga perlu “hati singa” untuk bertugas di daerah terpencil/perang atau menghadapi pasien dengan beragam karakter, pekerjaan, budaya, dll.
Di FK, saya dilatih berani menyajikan hasil analisis kasus di depan dokter-dokter ahli—pengalaman yang menegangkan! Dalam program bakti sosial, saya harus berani bertemu dengan orang yang tidak tahu bahasa Indonesia, tidak sabaran, pemarah, menghina profesi dokter, dsb. Dalam program sunatan massal, saya harus berani meladeni anak-anak, yang sering terlalu banyak bergerak sehingga membuat kami ketakutan dalam bertindak. Tanpa “hati singa,” mungkin saya sudah tersingkir dari bidang pendidikan ini.
Ketiga, dokter ideal haruslah bertangan wanita, lembut dan terampil menangani pasien. Bukan hanya dokter bedah yang harus bertangan wanita saat memegang pisau bedah, semua dokter pun harus lembut dan terampil dalam mempraktikkan tindakan medis seperti menyuntik, menjahit luka, menambal gigi, dll. Hasil kerjanya harus serapi pekerjaan “tangan wanita.”
Di FK, dalam mata kuliah Keterampilan Klinik, saya diharuskan “berakting” praktik seperti dokter sungguhan dengan manekin sebagai pasien dan ruang praktik yang disulap dari ruang kelas. Selanjutnya, Ujian Klinis Terstruktur Objektif2 memeriksa apakah saya sudah terampil berpraktik. Para penguji tega untuk tidak meluluskan mahasiswa yang tidak menunjukkan keterampilan “tangan wanita.”
Tahun-tahun berlalu dan kini, dalam hitungan bulan saja, saya akan menjalani tugas sebagai dokter muda. Namun, pesan dosen di awal kuliah itu tetap tinggal bahkan telah mendarah daging dalam diri saya. Saya digerakkannya untuk berikhtiar menjadi dokter ideal, bukan sekadar penghafal gejala penyakit dan obat. Saya disadarkannya bahwa dokter adalah salah satu profesi penting dan mulia bagi bangsa.
Maka di sinilah saya, siap mengabdi, siap mengafiatkan Indonesia dengan mata elang, hati singa, dan tangan wanita.
.
Nadya Sumolang adalah seorang mahasiswa fakultas kedokteran yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan.
.
Catatan
1 Lihat Gaither’s Dictionary of Scientific Quotations/Penyunting: Carl C. Gaither dan Alma F. Cavazos-Gaither. New York: Springer, 2008, hal. 1557.
2 Ujian Klinis Terstruktur Objektif (Ing.: Objective Structured Clinical Examination atau OSCE) adalah ujian dari mata kuliah Keterampilan Klinik yang menilai keterampilan mahasiswa kedokteran dalam menerapkan tindakan klinik dan juga etika profesi dokter.