Pendidikan Afiat bagi Pengafiat Bangsa

Oleh Viona Wijaya

“Mata kirimu sudah tidak bisa diapa-apakan lagi.” Demikian vonis dokter mata setelah memeriksa mata kiri saya yang kabur penglihatannya apabila mata kanan dipejamkan. Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar. Belasan tahun kemudian, ketika mata yang sama diperiksa oleh dokter mata di negeri tetangga, saya justru menerima vonis yang bertolak belakang: kondisi mata kiri saya tidak separah itu dan dapat kembali sehat walafiat dengan terapi saja!

Tentunya saya bukan satu-satunya orang yang pernah mengalami kejadian tak sedap ketika berobat di Indonesia. (Sekarang mata kiri saya sudah kembali normal berkat terapi anjuran dokter negeri tetangga itu.) Kasus-kasus salah diagnosis atau tindakan medis yang tidak tepat terkadang kita dengar dari keluarga, sanak, teman, berita—atau bahkan kita alami sendiri.

Sebagai manusia, kita seumur hidup berpeluang besar terkena penyakit sehingga membutuhkan uluran tangan dokter. Tentulah kita mengharapkan tangan dokter itu dingin: cakap dan terampil menangani pasien. Ya, uluran tangan dokter dapat membawa kesembuhan dan kepulihan. Maka nyatalah bahwa dokter memegang peran penting dalam mengafiatkan bangsa.

Sayangnya, kita dikejutkan oleh berita-berita nasional mengenai permasalahan pendidikan kedokteran di Indonesia. Pendidikan kedokteran, kita maklum, sangat menentukan mutu dokter selaku pengafiat bangsa. Namun, berita-berita tentang minimnya infrastruktur pendidikan, amat terbatasnya jumlah dosen, dan terbatasnya Rumah Sakit Pendidikan1 (khususnya di luar Pulau Jawa) menggambarkan betapa pendidikan kedokteran sendiri belum afiat di Indonesia.

Saya terhenyak ketika membaca bahwa di fakultas kedokteran (FK) di Jayapura, 260 mahasiswa harus berjejal dalam satu ruang kuliah, mengikuti kuliah dengan kepanasan karena keterbatasan ruang kelas.2 FK lain di Lampung dan Pontianak kesulitan menggelar program koasistensi di kota sendiri akibat keterbatasan Rumah Sakit Pendidikan.3

Saya pun terperangah ketika membaca bahwa para dosen FK kita bisa memiliki beban mengajar 500 menit per hari4 dan rasio dosen-mahasiswa yang mendekati 1:100.5 Minat untuk menjadi dosen FK pun rendah sehingga banyak FK, terutama di luar Pulau Jawa, kekurangan dosen.6

Jelas itu bukan gambaran yang afiat dari kondisi pendidikan kedokteran kita! Terbayanglah di pikiran saya mahasiswa-mahasiswa yang sulit berkonsentrasi dalam perkuliahan dan dosen-dosen yang kelelahan. Padahal kita semua tahu bahwa ilmu kedokteran sangat rumit sehingga membutuhkan infrastruktur yang nyaman dan memadai serta pengajar-pengajar yang bugar dan bermutu.

Keterbatasan infrastruktur dan jumlah dosen justru berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa yang membeludak di FK-FK di tanah air. Seperti kita ketahui, profesi dokter tetap sangat diminati oleh banyak anak bangsa. Jadi, pendidikan kedokteran yang belum afiat sudah tentu tidak selaras dengan atau malah memubazirkan minat tinggi dan pembeludakan itu.

Di Indonesia saat ini, sekitar 40% FK masih berakreditasi C.7 Beberapa FK bahkan belum terakreditasi. 8 Celakanya, FK-FK berakreditasi C dengan tingkat kelulusan ujian kompetensi yang rendah justru terus menerima ratusan mahasiswa baru.9 Saya ngeri memikirkan dokter seperti apa yang akan dihasilkan oleh pendidikan kedokteran yang berkompetensi rendah itu.

Dambaan tentang pendidikan yang afiat bagi pengafiat bangsa sudah disuarakan oleh banyak pihak. Menangkap kegelisahan masyarakat, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) baru-baru ini berunjuk rasa menuntut pemerintah meningkatkan mutu pendidikan kedokteran.10 Tri Rini Puji Lestari, peneliti DPR RI, mengungkapkan bahwa tiadanya pengawasan pemerintah secara komprehensif menyebabkan mutu pembelajaran di FK menurun.11

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun tak ketinggalan. Mereka menyerukan agar “pemerintah tidak terus-menerus membuka fakultas kedokteran tanpa standar dan akreditasi yang jelas.”12 Saya sendiri mau ikut menyumbang harapan agar pemerintah Indonesia dan kalangan akademisi kedokteran melakukan apa saja yang diperlukan untuk menciptakan pendidikan kedokteran yang afiat.

Sudah saatnya kebutuhan tinggi masyarakat akan dokter dan minat tinggi anak bangsa untuk menjadi dokter disambut dengan keseriusan tinggi dalam menggelar pendidikan kedokteran yang bermutu. Semoga di hari-hari mendatang kita tidak usah lagi mendengar berita-berita menyedihkan tentang pendidikan kedokteran kita. Semoga di tanah air tercinta hanya ada pendidikan afiat bagi pengafiat bangsa!

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang berfungsi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan terpadu dalam bidang pendidikan kedokteran dan pendidikan kesehatan lainnya. Lihat pasal 1 angka 1 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan.

2 “Pencetak Dokter yang Sarat Masalah” dalam harian Kompas terbitan 9 Mei 2016.

3 “Pencetak Dokter yang Sarat Masalah,” Kompas.

4 “Fakultas Kedokteran Diumbar” dalam harian Kompas terbitan 19 Mei 2016. Rasio ideal dosen-mahasiswa adalah mendekati 1:10. Lihat “Standar Pendidikan Profesi Kedokteran Indonesia” dalam situs Konsil Kedokteran Indonesia. <http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Final_SPPDI,_21_Maret_2013.pdf>.

5 Idealnya beban mengajar dosen adalah 100-200 menit per hari. Lihat “Fakultas Kedokteran Diumbar,” Kompas.

6 “Terapkan Kuota Mahasiswa Kedokteran—Minimnya Sarana Belajar Menjadi Sorotan” dalam situs Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XII. <http://www.kopertis12.or.id/2016/04/08/terapkan-kuota-mahasiswa-kedokteran-minimnya-sarana-belajar-menjadi-sorotan.html>.

7 “YLKI Ragukan Kualitas Fakultas Kedokteran di Indonesia” dalam situs TEMPO. <https://m.tempo.co/read/news/2016/04/12/079761962/ylki-ragukan-kualitas-fakultas-kedokteran-di-indonesia>.

8 Cornelius Eko Susanto. “Mayoritas Fakultas Kedokteran di Indonesia Bermutu Rendah” dalam situs Metro TV News. <http://news.metrotvnews.com/read/2014/06/16/253395/mayoritas-fakultas-kedokteran-di-indonesia-bermutu-rendah>.

9 “Pencetak Dokter yang Sarat Masalah,” Kompas.

10 “Mahasiswa Kedokteran Suarakan Mutu Pendidikan di Fakultas Kedokteran yang Merosot” dalam situs Detik News. <http://news.detik.com/berita/3226091/mahasiswa-kedokteran-suarakan-mutu-pendidikan-di-fakultas-kedokteran-yang-merosot>.

11 Tri Rini Puji Lestari. “Kebijakan Pendidikan Kedokteran” dalam buletin Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol. IV, No. 08, April 2012, hal. 10.

12 “YLKI Ragukan Kualitas Fakultas Kedokteran di Indonesia,” TEMPO.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *