Papan Hati Bertuliskan “Ayo Berbahasa Indonesia!”

Oleh Hotgantina Sinaga

Meski sama-sama tinggal di Britania Raya, orang Wels (Ing.: Wales) memiliki budaya dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan orang Inggris. Hubungan mereka pun, khususnya di masa lalu, diwarnai ketegangan karena sejak abad ke-13 negeri Wels ditaklukkan oleh dan dijadikan bagian dari Kerajaan Inggris.1 Pada abad ke-19, orang Inggris bahkan sempat berniat menggusur bahasa Wels dengan bahasa Inggris yang dipromosikan sebagai bahasa persatuan.

Penggusuran itu diterapkan di sekolah-sekolah di negeri Wels. Anak-anak Wels yang kedapatan menggunakan bahasa Wels akan dikalungi papan bertuliskan “WN”—kependekan dari Welsh Not (“Jangan Berbahasa Wels”)—lalu dihukum oleh guru mereka.2 Sekolah, yang seharusnya berperan dalam memelihara budaya dan bahasa, malah menjadi tempat memberangus budaya dan bahasa.

Syukurlah, pemberangusan seperti itu tidak pernah terjadi di negeri kita, Indonesia. Walaupun penggunaan bahasa Indonesia memang membuat banyak bahasa daerah jadi jarang digunakan, tidak pernah ada program untuk memunahkan bahasa apa pun di Nusantara. Tidak pernah ada sekolah di Indonesia yang sampai harus mengalungkan papan bertuliskan, misalnya, “Jangan Berbahasa Batak” atau “Jangan Berbahasa Sasak” pada pelajar-pelajarnya. Yang ada malah program untuk melestarikan bahasa daerah, salah satunya dengan cara memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah.

Itulah kehebatan bahasa persatuan di Indonesia. Kisah di baliknya pun tak kalah hebat. Pada tahun 1928, pemuda Nusantara dari berbagai budaya dan bahasa mengikrarkan di Jakarta apa yang menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia: Sumpah Pemuda. Butir ketiga ikrar itu, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” mengungkapkan bahwa bahasa Indonesia dijunjung di atas bahasa-bahasa lain sebagai sarana komunikasi pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Bahasa-bahasa daerah tetap bebas berkembang.

Sayangnya, ikrar hebat itu makin hari malah makin diabaikan. Gejalanya meluas di tengah masyarakat kita yang tampak lebih bangga akan bahasa asing daripada bahasa Indonesia—apalagi bahasa daerah. Sekolah-sekolah pun, yang seharusnya memelihara budaya dan bahasa setempat, tak ketinggalan. Banyak sekolah memilih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar (terkadang bersama bahasa Indonesia) tanpa ambil pusing tentang dampaknya kepada penguasaan siswa terhadap bahasa Indonesia. Sekolah-sekolah itu seolah-olah menuliskan di papan hati pelajarnya: “Ayo Berbahasa Asing.”

Menguasai bahasa asing, khususnya bahasa internasional, tentulah sangat baik dan menguntungkan. Namun, jika kita jadi lebih bangga berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia, tentulah kita takabur dan keliru. Orang Wels tak mau seperti itu. Sambil menguasai bahasa Inggris, mereka memperjuangkan penggunaan bahasa Wels. Alhasil, bahasa Wels menjadi bahasa resmi di Britania dan hukum Britania melindungi hak penggunaannya di tempat kerja. Pendidikan dalam bahasa Wels pun tersedia sejak kanak-kanak sampai perguruan tinggi.3

Semangat itu perlu kita tiru. Sudah selayaknya sekolah-sekolah kita melatih anak-anak bangsa untuk menguasai bahasa internasional dan, lebih lagi, bahasa nasional. Sekolah—lewat pendidik—harus memastikan pelajar bukan sekadar “bisa” berbicara/berpidato dan menulis/mengarang dalam bahasa Indonesia, tetapi juga mampu melakukan semua itu dengan baik dan benar. Kemahiran berbahasa Indonesia harus diupayakan dalam semua mata pelajaran, bukan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia belaka.

Di sini nyatalah peran penting guru/dosen selaku pendidik. Guru/dosen Indonesia harus mampu meneladankan dan menggugah minat pelajar untuk mencintai dan bangga akan bahasa Indonesia. Komitmen, kekonsistenan, dan ketegasan akan menolong mereka menempa pelajar menjadi pengguna bahasa Indonesia yang luar biasa.

Semangat orang Wels melestarikan bahasa Wels rupanya menarik perhatian tetangga mereka, orang Irlandia, yang bahasanya tergerus pula oleh bahasa Inggris. “Orang Wels,” puji seorang aktivis bahasa Irlandia, “menegaskan bahwa mereka berbeda dengan berbahasa Wels. Mereka membawanya ke dalam budaya populer dan musik moderen.” Dan meningkatlah di Irlandia tuntutan akan sekolah berbahasa Irlandia—seperti sekolah berbahasa Wels.4

Di Indonesia, kiranya kita pun tidak membiarkan bahasa nasional kita tergerus oleh bahasa lain. Dari rumah dan sekolah, mari kita bawa bahasa Indonesia ke dalam budaya populer, musik moderen, dan segalanya, sebab papan hati kita selamanya bertuliskan “Ayo Berbahasa Indonesia.”

.

Hotgantina Sinaga adalah seorang guru yang bermukim di Cikarang, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “United Kingdom: History” dalam situs The Commonwealth. <http://thecommonwealth.org/our-member-countries/united-kingdom/history>.

2 “Welsh and 19th century education” dalam situs BBC. <http://www.bbc.co.uk/wales/history/sites/themes/society/language_education.shtml>.

3 Holly Williams. “Mind your (minority) language: Welsh, Gaelic, Irish and Cornish are staging a comeback” dalam situs Independent. <http://www.independent.co.uk/news/education/schools/mind-your-minority-language-welsh-gaelic-irish-and-cornish-are-staging-a-comeback-8454456.html>.

4 Sharon ni Choncuir. “Finding our voice: Looking to Wales to save the Irish language” dalam situs Irish Examiner. <http://www.irishexaminer.com/lifestyle/features/finding-our-voice-looking-to-wales-to-save-the-irish-language-356769.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *