Oleh Paul Sagajinpoula dan Samsu Sempena
Gereja Puhsarang di Jawa Timur adalah gereja Katolik yang berarsitektur Jawa. Dua orang berkebangsaan Belanda, Romo Jan Wolters CM dan arsitek Henri Maclane Pont, mendirikannya di antara Kediri dan Gunung Wilis pada tahun 1936. Kentalnya nuansa Jawa pada bangunan Gereja Puhsarang memang disengaja. Tekad menggunakan unsur-unsur budaya Jawa itu asalnya dari Wolters, yang menginginkan perpaduan kekristenan dengan budaya setempat.1
Tekad dan kesengajaan sang romo bisa dibilang menakjubkan, sebab ia sama sekali tak berdarah Jawa. Namun, ia menunjukkan kesadaran budaya yang tinggi ketika meniatkan Gereja Puhsarang dibangun dengan melibatkan budaya setempat, yang memang dicintai dan dihormatinya. Ia mengajari kita bahwa budaya—khususnya budaya Nusantara—bisa selaras dengan agama, dan bahwa kesengajaan diperlukan untuk membentuk keselarasan itu.
Maka Gereja Puhsarang sengaja dibangun dengan arsitektur ala candi Jawa. Bentuk “badan” gereja yang menyerupai gunung dan atapnya yang menyerupai kapal diilhami oleh kisah Alkitab tentang bahtera Nabi Nuh yang terdampar di Gunung Ararat. Itu juga mencerminkan budaya Jawa yang memandang gunung sebagai tempat sakral di mana manusia bertemu sembahannya.2
Pintu gerbang Gereja Puhsarang sengaja dibangun tinggi-megah namun sempit.3 Kemegahan itu didasari pemikiran tentang gereja sebagai “keraton” (Jawa) tempat Sang Raja bertakhta. Pintu yang sempit mencerminkan gagasan Alkitab bahwa “… sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat. 7:14).
Keselarasan kekristenan dan budaya, seperti yang diperagakan Gereja Puhsarang, sungguh serasi dengan contoh-contoh yang terdapat dalam Alkitab sendiri. Alkitab mencatat bagaimana datuk-datuk bani Israel di zaman purba sempat menggunakan batu besar dan pohon besar dalam kaitan dengan ibadah. Tentu saja bangsa-bangsa Asia Barat pada zaman itu telah biasa menggunakan keduanya dalam praktik agama mereka.4 Namun, para datuk bani Israel sengaja memadukannya dengan keimanan mereka yang meniadakan segala unsur penyembahan berhala.
Allah meridai perpaduan tersebut. Itulah sebabnya Allah tidak murka ketika “… Yakub mendirikan tugu di tempat itu, yakni tugu batu; ia mempersembahkan korban curahan dan menuangkan minyak di atasnya” (Kej. 35:14). Allah pun berkenan ketika “… Abraham menanam sebatang pohon tamariska di Bersyeba, dan memanggil di sana nama TUHAN, Allah yang kekal” (Kej. 21:33).
Berkaca kepada tindakan para datuk Israel, kita di Indonesia pun sangat bisa memadukan unsur budaya setempat (baca: Nusantara) dengan kekristenan—hal yang sangat disadari Romo Wolters. Namun, itu tidak berarti bahwa budaya apa pun tinggal kita “serobot” saja sebagai sarana untuk ibadah. Tetap harus ada pertimbangan yang bijaksana dan alkitabiah. Unsur budaya yang sejalan dengan Alkitab bisa dipertahankan atau diberi makna baru, sedangkan yang tidak sejalan bisa disisihkan.
Di masa kini, gagasan tentang keselarasan budaya dan kekristenan memang sudah lebih diterima oleh Gereja Indonesia. Namun, Gereja Indonesia secara umum kelihatannya masih bersikap sebatas terbuka saja. Belum ada tekad untuk sengaja menggunakan unsur budaya Nusantara dalam keselarasan dengan kekristenan. Gereja Indonesia masa kini masih terpana oleh gaya kekristenan asing (Barat, khususnya) dan seperti lupa bahwa budaya Nusantara juga diterima Allah.
Contoh unsur budaya Nusantara yang bisa diselaraskan dengan kekristenan adalah alat-alat musik. Di Gereja Puhsarang, gamelan biasa digunakan untuk mengiringi misa.5 Sudah barang tentulah gondang Batak, kateuba Mentawai, dsb. bisa juga digunakan dalam ibadah kristiani. Dan itu berlaku pula dengan banyak unsur budaya lainnya. Kita hanya memerlukan tekad dan kesengajaan untuk mewujudkannya.
Penulis Sam Tumanggor berkata, “Budaya ada di cengkeraman kita, bukan kita di cengkeramannya. Kita bebas memanfaatkan (memelihara, membenahi, memugar) budaya tanpa harus menghamba kepadanya. Itulah sebabnya Abraham dan Yakub leluasa memanfaatkan budaya latar mereka dengan menanam pohon tamariska atau meminyaki tugu batu.”6 Senada dengan itu, sudah saatnya Gereja Indonesia sengaja memanfaatkan budaya Nusantara untuk menghormati Allah.
Biarlah gereja Indonesia bercorak Nusantara—seperti Gereja Puhsarang—berdiri teguh sebagai penggenapan sabda: “Pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia” (Rom. 5:11).
.
Paul Sagajinpoula adalah seorang anggota staf rumah produksi yang bermukim di Cikarang, Jawa Barat. Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi di bidang perjalanan yang bermukim di DKI Jakarta..
Catatan
1 “Gereja Puhsarang” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia.<https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Pohsarang>.
2 “Gereja Puhsarang,” Wikipedia bahasa Indonesia.
3 “Gereja Pohsarang,” Wikipedia bahasa Indonesia.
4 Samuel Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta?: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011, hal. 118-121.
5 Yogi Fitra Firdaus. “Ternyata, Kediri Punya Gua Bunda Maria Mirip di Prancis” dalam situs Detik. <http://travel.detik.com/read/2013/11/20/183900/2398841/1025/ternyata-kediri-punya-gua-bunda-maria-mirip-di-prancis>.
6 Samuel Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta?: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta.Jakarta: LiteraturPerkantas, 2011, hal. 129.