Oleh Madriantonius Bara
Kata lagu Koes Plus, “Orang bilang tanah kita tanah surga; tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.1 Tetapi sebetulnya bukan hanya itu keistimewaan Indonesia, tanah surga kita. Di sini batu, air, dan angin pun bisa menjadi gumuk pasir sabit yang istimewa dan langka di dunia, seperti yang kita dapati di Parangkusumo, Yogyakarta. Membanggakan, bukan?
Belum tentu.
Banyak kali kita lupa bahwa kita tinggal di tanah surga sehingga alih-alih bangga, yang menonjol justru sikap abai untuk memelihara dan mengelolanya, termasuk objek-objek wisatanya. Alhasil banyak objek wisata istimewa yang lambat laun menjadi biasa-biasa saja atau bahkan hilang daya tariknya. Kita gagal melestarikannya. Hal serupa mengancam gumuk pasir sabit Parangkusumo yang unik itu.
Keunikannya nyata dari fakta bahwa gumuk pasir sabit Parangkusumo terbentuk di pesisir Parangtritis yang beriklim basah. Padahal gumuk pasir sabit umumnya terbentuk di iklim tropis kering dan setengah kering. Pada mulanya adalah bebatuan dari Gunung Merapi yang dibawa aliran air sungai ke muara. Di situ mereka tergerus menjadi butiran pasir halus dan sapuan angin mengumpulkannya menjadi gumuk pasir berbentuk bulan sabit yang sungguh elok.2
Karena elok, gumuk pasir sabit Parangkusumo menjadi objek wisata istimewa bagi kegiatan seni budaya seperti fotografi dan pembuatan filem serta kegiatan olahraga seperti seluncur pasir.3 Tak hanya elok, gumuk pasir ini pun memberi manfaat besar bagi masyarakat sekitar karena menjamin tersedianya cadangan air yang melimpah dan dapat meredam tsunami.4 Selain itu, tentu saja gumuk pasir sabit Parangkusumo menyumbangkan pendapatan di sektor pariwisata bagi negara.
Sedihnya, kelestarian gumuk pasir sabit Parangkusumo terancam akibat sikap abai beberapa pihak. Itu terlihat dari maraknya penambangan pasir dan pembukaan tambak udang oleh oknum-oknum pengusaha yang akhirnya membuat lahan gumuk pasir semakin kecil. Pemerintah pun seolah-olah tak berdaya membendung perusakan ini.5 Juga masih saja ada pengunjung yang bersikap abai terhadap kebersihan dan kenyamanan gumuk pasir, meskipun sudah ada komunitas setempat yang menggelar sistem bank sampah.6
Hal-hal serupa, yang memudarkan keistimewaan dan kelestarian gumuk pasir sabit Parangkusumo, kita dapati pula pada objek-objek wisata lain di Indonesia. Sebagai contoh, Air Terjun Tujuh Tingkat Batang Koban yang dulu menjadi objek wisata istimewa Riau kini kondisinya kotor dan tidak menarik.7 Pantai Penggajawa di Flores, NTT, yang istimewa dengan hamparan batu hijaunya terancam kehilangan daya tarik karena bebatuannya diambil warga untuk dijual.8
Sikap abai memang merupakan ancaman besar bagi segala potensi yang kita miliki di Indonesia, tak terkecuali objek wisata. Sikap abai itu menggerus keistimewaannya dan kelestariannya (dan juga rasa bangga dalam diri kita). Kita tentu tak ingin anak cucu kita nanti cuma bisa mengetahui keistimewaan objek-objek wisata Indonesia lewat pelajaran sejarah—lantaran keabaian kita.
Semua pihak punya andil besar dalam menanggulangi sikap abai terhadap kelestarian objek-objek wisata istimewa: pemerintah dengan penerapan perdanya, biro wisata dengan anjuran dan peringatan pada brosurnya, guru dengan bahan ajarnya, para pegiat lingkungan dengan penyuluhannya lewat berbagai media, dan para pemuka masyarakat dengan ceramah dan teladannya. Jangan lupa pula bahwa kita masing-masing pun harus terus bangga, mengunjungi, dan merawat objek-objek wisata, khususnya yang istimewa dan langka seperti gumuk pasir sabit Parangkusumo.
Jika ada kesempatan baik, mari kita berwisata ke gumuk pasir sabit Parangkusumo. Di sana cobalah menutup mata dan biarkan rasa kagum atas keunikan itu berhamburan dari kepala ke seluruh tubuh bagai bebatuan Gunung Merapi yang dibawa aliran Sungai Opak ke Pantai Parangtritis. Biarkan rasa kagum itu berproses menjadi kebanggaan bagai bebatuan tergerus jadi pasir dan ditiupi angin membentuk gumuk pasir sabit.
Dan dengarlah suatu lirik mengalun: “Orang bilang tanah kita tanah surga; batu, air, dan angin jadi gumuk pasir sabit”.
Madriantonius Bara adalah seorang pegawai negeri sipil yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan.
Catatan
1 Koes Plus. “Kolam Susu”. Lirik bisa dilihat, antara lain, dalam blog Lirik Lagu Nostalgia Indonesia. <http://lirik-lagu-nostalgia-lengkap.blogspot.com/2013/06/kolam-susu-koes-plus.html>.
2 Lihat Swarakarumput. “Gumuk Pasir Parangtritis, Hanya Ada Dua di Dunia” dalam blog Harmony on Earth. <https://swarabumi.wordpress.com/2010/10/10/gumuk-pasir-parangtritis-hanya-ada-dua-di-dunia/>.
3 Lihat “Sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo Satu-satunya di Asia Tenggara” dalam situs Cah Yogya. <http://www.cahyogya.com/2015/09/sandboarding-gumuk-pasir-parangkusumo.html>.
4 Lihat “4 Fakta Menarik tentang Gumuk Pasir Parangkusumo” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2016/11/03/160500227/4.fakta.menarik.tentang.gumuk.pasir.parangkusumo>.
5 Lihat “Penambangan Gumuk Pasir Kembali Marak di Kawasan Parangtritis” dalam situs Sindonews. <http://daerah.sindonews.com/read/1085478/189/penambangan-gumuk-pasir-kembali-marak-di-kawasan-parangtritis-1455534766>; Budi W. “Gumuk Pasir Parangtritis Berpotensi Lenyap” dalam situs Gudeg Net. <http://gudeg.net/read/7973/gumuk-pasir-parangtritis-berpotensi-lenyap.html/>.
6 Lihat Dominico Argo Wikan dan Frendy Christian. “Pejuang Pelestari Gumuk pasir Parangtritis” dalam situs Citralekha. <http://citralekha.com/pejuang-pelestari-gumuk-pasir-parangtritis/>.
7 Lihat “Tak Terawat, Masyarakat Nilai Pemkab Kuansing Enggan Perhatikan Objek Wisata” dalam situs Radar Riau. <http://radarriaunet.com/mobile/detailberita/6852/tak-terawat,-masyarakat-nilai-pemkab-kuansing-enggan-perhatikan-objek-wisata.html>.
8 Lihat “Unik, pantai di Flores ini pasirnya ditaburi batu-batu hijau” dalam situs Merdeka. <https://www.merdeka.com/gaya/unik-pantai-di-flores-ini-pasirnya-ditaburi-batu-batu-hijau.html>.