Tsougrisma dan Seruan Menang Tanding

Oleh Samsu Sempena

Sejak abad pertengahan, bangsa-bangsa Eropa biasa memperingati Paskah, hari kebangkitan Yesus Kristus, dengan mengadakan pertandingan adu telur.1 Dua pemain akan membenturkan telur rebus mereka dan cangkang telur yang lebih sedikit retak akan menentukan siapa pemenang pertandingan.2 Di Yunani tradisi itu dikenal dengan nama tsougrisma (harfiah: berbenturan). Tradisi adu telur bisa kita pandang melambangkan “pertandingan” yang lebih hebat antara Kristus melawan maut.

Kebangkitan Kristus jelas menunjukkan bahwa Ia menang atas maut. Karena Ia menang, kita pun kelak akan menang atas maut—bangkit ke dalam hidup kekal. Itulah sebabnya, ketika menerangkan hal yang menggembirakan ini kepada jemaat Korintus, Rasul Paulus menyitir sabda dari Kitab Hosea: “Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1 Kor. 15:55; bdg. Hos. 13:14). Itu adalah seruan menang tanding.

Selama ini, sejak zaman leluhur pertama manusia, maut terus “menyengat” dan menang atas manusia. Artinya, semua manusia pasti mati, pasti takluk kepada maut. Tapi Paskah, sebagaimana disimbolkan oleh telur, menunjukkan bahwa ada manusia yang “menetas”/keluar dari kungkungan maut—yang menang “tanding” atas maut dan tidak mati lagi—yaitu Yesus Kristus. Selaku penyelamat kita, Ia memberi kita jalan untuk “menetas” pula dan menyerukan kemenangan atas maut dan sengatnya, yaitu dosa (1 Kor. 15:56-57).3

Sebagai akibatnya, sekarang kita hidup dalam pengharapan akan hari kebangkitan orang mati, ketika sengat dan kemenangan maut tidak berlaku lagi. Sukacita pengharapan itu mendorong kita bertanding dalam pertandingan iman di bumi (1 Tim. 6:12) dengan cara berbuat baik—yang adalah buah keselamatan—di lahan panggilan masing-masing. Mengenai pertandingan itu, tsougrisma memberi kita pelajaran penting.

Setiap telur Paskah bisa diadu dalam tsougrisma dengan melibatkan tindakan memilih, merebus, dan mewarnainya.4 Demikian juga kita bertanding dalam pertandingan iman dengan memilih cara hidup yang baik dan benar, “merebus” atau menguatkan pendirian hidup dalam menghadapi tantangan/bujukan untuk berbuat tidak baik, dan “mewarnai” atau merias hidup dengan karya dan pencapaian yang baik dan berguna. Oleh anugerah Tuhan, semua itu akan mengantar kita kepada seruan menang tanding.

Telur Paskah dalam budaya Eropa, termasuk Yunani, adalah suatu wujud pempribumian kekristenan. Dalam agama lama orang Eropa, telur memiliki makna/peran penting dan dipandang sebagai awal kehidupan baru. Ketika orang Eropa memeluk agama Kristen, mereka pun memanfaatkan telur untuk melambangkan hidup baru yang kita peroleh karena Kristus telah menang tanding atas maut.5

Tapi orang Eropa/Yunani tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah mengambil alih telur ke dalam kekristenan, mereka pun mengolahnya secara kreatif sehingga menghasilkan tradisi-tradisi telur Paskah yang unik, seperti menghias telur dan adu telur atau tsougrisma. Warna merah, yang paling lazim membalur telur tsougrisma, adalah lambang darah Kristus dan hancurnya kulit telur karena ditumbukkan adalah lambang hancurnya kuasa alam kubur oleh kebangkitan Kristus.6

Kita, orang Kristen Indonesia, telah menerima tradisi telur Paskah dari orang-orang Eropa yang menyiarkan agama Kristen ke tanah air kita. Tradisi ini baik dilestarikan karena telur unggas lumrah didapati di negeri kita pula. Tapi kita seharusnya bisa kreatif juga mengolah telur Paskah dengan membuat tradisi-tradisi baru khas Indonesia, misalnya permainan yang melibatkan bahan-bahan “lama” (daun kelapa, kulit jeruk bali, dsb.) dan baru (kaca, plastik, dsb.) atau simbolisme yang melibatkan motif-motif hias Nusantara dan motif-motif hias rekaan baru.

Semua itu dapat sangat membantu meresapkan makna Paskah di tengah-tengah kita sambil menggerakkan kita untuk meraih kemenangan dalam pertandingan iman yang kita hadapi hari lepas hari.

Sewaktu bermain tsougrisma, orang Yunani menumbukkan telurnya sambil berseru berbalasan: “Christos anesti!” (“Kristus sudah bangkit!”) dan “Alithos anesti!” (“Dia memang sudah bangkit!”).7 Itulah seruan-seruan tentang menang tanding Kristus yang harus mengilhami kita untuk membahanakan seruan menang tanding pula dalam hidup kita. Ya, semangat Paskah adalah semangat menang tanding.

“Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?”

Christos anesti! Alithos anesti!

Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi yang bermukim di DKI Jakarta.

Catatan

1 Permainan ini dikenal luas dari negeri-negeri Eropa Barat (Inggris, Norwegia, dll.) sampai negeri-negeri Eropa Timur (Kroasia, Polandia, dll.).

2 Tidak ada aturan baku tentang bagian telur sebelah mana yang harus diadu atau bagaimana cara memegang telur atau cara menumbukkan telur. Lihat Nancy Gaifyllia. “What is The Game Played With Red Eggs at Greek Easter?” dalam situs The Spruce. <https://www.thespruce.com/greek-easter-egg-game-1705738>.

3 Dosa disebut “sengat” maut/kematian karena dosalah yang menyebabkan kematian manusia (lihat juga Rom. 3:23; 6:23; Yak. 1:14-15).

4  Omaira Gill. “How to win at greek egg tapping?” dalam situs Greece Is. <http://www.greece-is.com/article/win-greek-egg-tapping/>

5 Omaira Gill, “How to win at greek egg tapping?”; lihat juga Venetia Newall. “Easter Eggs” dalam The Journal of American Folklore vol. 80, no. 315, Jan.-Mar. 1967. Bloomington, IN: American Folklore Society, 1967, hal. 11-15.

6 Gregory Pappas. “Why Greeks Crack Eggs on Easter?” dalam situs The Pappas Post. <http://www.pappaspost.com/why-greeks-crack-eggs-on-easter/>.

7 Omaira Gill, “How to win at greek egg tapping?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *