Oleh Samsu Sempena dan Hotgantina Sinaga
“Allah Yang Mahakuasa telah menetapkan dua sasaran besar di hadapan saya, penggencetan perdagangan budak dan pembaharuan tata krama.”1 Perkataan yang mengungkapkan kepedulian sosial sekaligus kerelijiusan itu diucapkan oleh William Wilberforce, politisi Inggris kelahiran Hull, Yorkshire, tahun 1759. Sampai akhir hayatnya, negarawan saleh itu memang berjuang untuk membuka belenggu perbudakan dan membaharui moral di negerinya.
Perjuangan Wilberforce serasi dengan perintah Allah untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk … memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk” (Yes. 58:6). Perintah ini dahulu disampaikan oleh Nabi Yesaya untuk menegur umat Allah yang begitu mementingkan kesalehan ritual di atas kesalehan sosial. Mereka rajin beribadah tetapi tidak peduli kepada orang yang tertindas.
Kira-kira seperti itulah masyarakat Inggris di zaman Wilberforce dalam hal perbudakan. Meskipun secara umum beragama Kristen, orang Inggris sejak abad ke-16 mengenakan belenggu dan kuk perbudakan pada orang Afrika. Budak-budak Afrika dikapalkan dan diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Perlakuan/hukuman lalim dan penyakit membuat banyak budak meninggal sebelum mencapai Inggris. Kasus bunuh diri budak—untuk mengakhiri penderitaan—sering terjadi.2
Di usia 21 tahun, Wilberforce terjun ke dunia politik dan mendapatkan kursi di parlemen. Ia mulai berfokus pada masalah perbudakan karena pengaruh Thomas Clarkson, tokoh anti perbudakan, dan karena ia mulai bersungguh-sungguh dengan iman Kristennya.3 Pada masa itu memang makin banyak orang/komunitas Kristen yang bersuara menentang perbudakan.4
Wilberforce sempat mengalami dilema: apakah ia harus meneruskan karir politiknya atau meninggalkan dunia politik untuk melayani Tuhan di gereja. Untunglah John Newton, rohaniwan Anglikan dan mentor rohaninya, meyakinkan Wilberforce bahwa ia dapat melayani Tuhan lewat bidang politik5—wawasan bijak yang tidak selalu dimiliki atau dikemukakan rohaniwan Kristen.
Sejak tahun 1789 Wilberforce mulai mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk “memerdekakan orang yang teraniaya”. Ini bukan perjuangan yang mudah. RUU yang diajukannya berulang kali kalah di parlemen—sembilan kali dalam 18 tahun! Belenggu dan kuk perbudakan sukar dilepaskan karena penolakan anggota-anggota parlemen yang diuntungkan oleh perdagangan budak, kerusuhan budak, sakit pribadi, politik internasional, dll.6
Tetapi Wilberforce adalah manusia yang berhati baja dalam kepedulian dan perjuangan sosialnya. Ia pernah berkata, “Kejahatan perdagangan [budak] tampak begitu hebat, begitu mengerikan, begitu tak terperbaiki sehingga pikiran saya bulat sepenuhnya bagi penghapusan[nya]. Apa pun akibatnya: saya sejak saat ini bertekad bahwa saya tidak akan pernah beristirahat sampai saya menyebabkan penghapusannya.”7
Hati baja dan kepedulian sosial yang sama seharusnya dimiliki pula oleh umat Kristen masa kini. Umat Kristen harus berani dan tekun menggeluti perjuangan sosial dalam bidang non-rohani di luar program pelayanan gereja pula. Jangan cepat-cepat mencap aksi macam itu sebagai “injil sosial” yang mengabaikan penjangkauan jiwa-jiwa. Umat Kristen harus menunjukkan kepedulian sosial karena itu merupakan perintah Allah, bukan semata-mata agar orang lain menerima iman Kristen.
Selain menggencet perdagangan budak, Wilberforce membaharui tata krama (moral) bangsa Inggris melalui pembentukan Society for the Suppression of Vice (“Lembaga untuk Penggencetan Kejahatan”). Ia terlibat pula dalam usaha penyejahteraan anak-anak (lewat pendidikan membaca, kesehatan pribadi, dan agama), perlindungan binatang, dan pengutusan pewarta iman Kristen ke luar negeri. 8
Segudang susah payah Wilberforce untuk mematahkan kuk perbudakan baru terbayar pada tanggal 26 Juli 1833, ketika RUU penghapusan perbudakan yang diajukannya akhirnya disetujui parlemen dan diberlakukan sebagai undang-undang Kerajaan Inggris. Tiga hari kemudian Wilberforce berpulang kepada Tuhan, yang tentunya bersukacita menyambut hamba-Nya yang setia melaksanakan sabda tentang kepedulian sosial.9
Sungguh hebat dampak perjuangan gigih seorang Kristen saleh yang peduli kepada masyarakat dan yang menaati perintah Allah untuk menjadi pembuka belenggu kelaliman!
Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi yang bermukim di DKI Jakarta.
Hotgantina Sinaga adalah seorang guru yang bermukim di Cikarang, Jawa Barat.
Catatan
1“William Wilberforce Biograhy” dalam situs Biography Online. <http://www.biographyonline.net/politicians/uk/william-wilberforce.html>.
2 Lihat “Timeline” dalam situs Historic England. <https://www.historicengland.org.uk/research/inclusive-heritage/the-slave-trade-and-abolition/time-line/>; Brendan Wolfe. “Slave Ships and the Middle Passage” dalam situs Encyclopedia Virginia. <http://www.EncyclopediaVirginia.org/Slave_Ships_and_the_Middle_Passage>.
3 “William Wilberforce” dalam situs Christianity Today. <http://www.christianitytoday.com/history/people/activists/william-wilberforce.html>.
4 Lihat Richard Reddie. “Atlantic slave trade and abolition” dalam situs BBC. <http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/history/slavery_1.shtml>.
5 “John Newton (1725-1807): The Former Slaver & Preacher” dalam situs The Abolition Project. <http://abolition.e2bn.org/people_35.html>. Newton, yang mashur sebagai penulis lirik lagu “Amazing Grace”, terlibat dalam perdagangan budak sebelum ia bertobat.
6 “William Wilberforce” , Christianity Today.
7 “William Wilberforce” , Christianity Today.
8 “William Wilberforce (1759-1833)” dalam situs BBC. <http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/wilberforce_william.shtml>.
9 “William Wilberforce” dalam situs Encyclopedia Britannica. <https://www.britannica.com/biography/William-Wilberforce>.