Chan Umar: Cinta Maestro Seni Ukir

Oleh Victor Sihombing

 

Duduk berhadapan dengan sebuah papan, pria berumur itu cekatan memainkan pisau ukir dan penokok kayu. Dengan mahir tangannya mengukir motif-motif khas pada papan. Ketika sudah merasa puas, ia merapikan ukiran tersebut dengan amplas. Lalu cat warna-warni dipoleskannya untuk mempercantik karya yang indah itu.

Chan Umar, demikian nama sang pengukir mahir, tinggal di Nagari Pandai Sikek, Sumatera Barat. Hidup maestro seni ukir Minangkabau ini bertutur tentang cinta yang kuat kepada kesenian asli yang mencirikan/menjadi identitas sukunya dan daerahnya. Karya-karyanya yang cantik menantang kita untuk berkarya seindah itu juga.

Lahir pada tahun 1950 di Pandai Sikek, Chan mencintai seni ukir Minangkabau sejak masih muda. Di umur 17 tahun, ia mempelajari kesenian itu secara khusus dari seorang guru besar setempat.1 Ketika kebanyakan pemuda nagarinya pergi merantau selepas SMA, Chan berpikiran lain. Ia tetap tinggal di Pandai Sikek dan menekuni seni ukir.2

Sejak dulu Pandai Sikek memang telah mashur sebagai pusat kerajinan ukir Minangkabau. Konon nagari itu dinamai menurut seorang ahli ukir kayu setempat dari masa silam. Si Ikek namanya.3 Dialah yang mewariskan ilmunya kepada seluruh penduduk Pandai Sikek, turun-temurun sampai kepada Chan Umar.

Seni ukir kayu Minangkabau, sasaran cinta dan gairah hidup Chan yang turut mencirikan identitas sukunya, didasari oleh falsafah Minangkabau: “alam takambang jadi guru” (“alam terbentang jadi guru”). Maka tanaman, hewan, atau benda sehari-hari secara kreatif dijadikan motif ukiran, misalnya motif-motif pucuak rabuang (“pucuk rebung”), ramo-ramo (“kupu-kupu”), kipeh cino (“kipas cina”).4

Sayangnya, kecintaan terhadap seni ukir Minangkabau tampak merosot seiring zaman. Karena pembuatan ukiran menuntut banyak waktu dan tenaga, harganya menjadi mahal sehingga masyarakat enggan/sulit membeli. Generasi muda pun tak tertarik lagi pada seni ukir. Nagara Kamang Hilir, sentra ukiran Minangkabau di masa lalu, sudah berhenti menghasilkan ukiran. Sisa-sisa ukiran Minangkabau hanya bisa ditemukan di sejumlah rumah gadang berusia ratusan tahun di sana.5

Situasi ini tak asing di Indonesia. Berbagai kesenian Nusantara memang telah makin ditinggalkan dan dibiarkan kalah bersaing dengan kesenian moderen. Padahal seni berfungsi pula sebagai penanda identitas yang membedakan satu bangsa/suku dengan bangsa/suku lainnya. Jika kita melestarikan seni Nusantara dan memashurkannya di dunia, maka identitas dan nama bangsa Indonesia akan makin menonjol dan harum di hadapan bangsa-bangsa lain.

Itulah yang diperjuangkan Chan Umar dengan karya-karya ukiran yang bermutu tinggi. Ukiran Pandai Sikek terkenal hingga ke mancanegara sehingga mengharumkan nama Minangkabau dan Indonesia.6 Melaluinya Chan menghancurkan pandangan bahwa kesenian tradisional tidak cocok dengan zaman moderen. Ia pun membuktikan bahwa kesenian Nusantara mengungkapkan keindahan yang bisa dikagumi manusia dari berbagai bangsa.

Layaklah bahwa Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, menghargai Chan sebagai “maestro seni tradisi” pada tahun 2009. Ia dinilai sebagai tokoh yang mengabdikan tenaga dan pikirannya untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya.7 Cinta sang maestro kepada seni ukir Minangkabau memang tak lekang oleh waktu.

Kita seharusnya berkaca kepada Chan Umar. Hendaknya kita juga melakukan setiap pekerjaan kita—di bidang apa pun—dengan penuh cinta. Dengan demikian, kita tidak akan menghasilkan karya yang sembarangan atau asal-asalan. Ketika didasari oleh cinta, setiap pekerjaan kita bisa menghasilkan keindahan, bahkan bisa mengilhami orang lain untuk berkarya cantik dan mendalam pula.

Sampai kini Chan Umar tak pernah berhenti berkarya. Di Nagari Pandai Sikek, ia bisa ditemui bekerja di bengkelnya—sebuah bangunan sederhana berwarna oranye dengan papan nama bertuliskan “Ukiran Chan Umar”. Bengkel yang berdiri sejak tahun 1990 itu tampaknya masih akan ada dalam waktu yang lama, karena si empunya bengkel tak pernah kehabisan cinta untuk terus berkarya.

 

Victor Sihombing adalah seorang karyawan perusahaan konstruksi fasilitas industri yang bermukim di Depok, Jawa Barat.

 

Catatan

1 Sebagaimana dituturkan oleh Chan Umar di “Les cerfs-volants de Pandai Sikek” dalam situs Youtube. <https://www.youtube.com/watch?v=wxtT50-AEWE>.

2 Yulia Rahmawati. “Chan Umar, Pengrajin Kayu Ukir dari Pandai Sikek” dalam situs Motekar. <https://motekar.web.id/2016/01/21/chan-umar-pengrajin-kayu-ukir-dari-pandai-sikek/>. Nagari adalah wilayah pemerintahan di Sumatera Barat yang setara dengan desa.

3 Yulia Rahmawati, “Chan Umar, Pengrajin Kayu Ukir dari Pandai Sikek”.

4 Priscilla Agnes. “Mengenal Ragam Hias dan Seni Ukir Minangkabau” dalam situs Wacana. <http://www.wacana.co/2013/03/ragam-hias-dan-seni-ukir-minangkabau/>.

5 Nasru Alam Aziz. “Ukiran Minangkabau Hampir Punah” dalam situs berita Kompas. <http://regional.kompas.com/read/2011/04/07/20365412/Ukiran.Minangkabau.Hampir.Punah>.

6 “Uniknya Kerajinan Ukir Pandai Sikek” dalam situs berita Liputan 6. <http://news.liputan6.com/read/611880/video-uniknya-kerajinan-ukir-pandai-sikek>.

7 “Menbudpar Berikan Penghargaan Pada Maestro Kebudayaan” dalam situs Antara News. <http://www.antaranews.com/berita/145968/menbudpar-berikan-penghargaan-pada-maestro-kebudayaan>.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *