Oleh Victor Sihombing
Brutal! Demikianlah hukuman penyengsara Yesus Kristus yang tergambar dalam lukisan “Yesus Dipaku ke Kayu Salib” (Ing.: Jesus Is Nailed to the Cross) karya Bertram (1340-s. 1414), pelukis dan pematung asal Minden, Jerman.1 Kita, orang Kristen masa kini, mungkin tidak selalu meresapi betapa menyakitkannya hukuman yang ditanggung Yesus itu. Lewat lukisan Bertram, yang dibuat menurut konteks negeri dan zamannya, kita bisa mencoba meresapinya (kembali).
Yesus, sebagaimana digambarkan Bertram, tampak terbaring telentang pada kayu salib di atas tanah dengan keadaan hampir telanjang. Tiga orang mengayun palu dengan sikap dingin untuk memaku tangan dan kaki-Nya yang direntangkan di kayu salib. Darah segar keluar dari anggota-anggota tubuh-Nya itu. Dua orang lain tampak memegang tali yang mengikat tubuh Yesus. Seorang dari mereka bahkan menginjak perut-Nya.
Penyaliban adalah cara yang digunakan banyak bangsa di masa lalu—Romawi salah satunya—untuk menghukum mati penjahat atau lawan politik. Hukuman brutal ini dilakukan di muka umum supaya orang-orang yang menyaksikannya takut berbuat jahat atau memberontak terhadap penguasa.2 Karena dengki, para pemuka Yahudi yang membenci Yesus menghasut rakyat sehingga mereka mendesak pemerintah penjajah Romawi untuk menyalibkan Yesus.
Sengsara Yesus akibat brutalnya salib dimulai saat Ia harus memikul balok kayu itu ke Bukit Golgota. Karena Ia tak kuat lagi setelah mendapat sesahan yang hebat, salib itu sampai harus dipikulkan orang lain. Di Golgota, di bawah terik matahari, tentara Romawi memakai paku panjang untuk menancapkan Yesus pada kayu salib, seperti yang dilukiskan Bertram. Yesus pun menggenapi nubuat pemazmur: “Mereka menusuk tangan dan kakiku” (Mzm. 22:17).
Kemudian kayu salib setinggi kira-kira tiga meter itu didirikan, dengan Yesus terpaku padanya. Tergantung dengan tangan terentang, tulang-tulang di sekitar bahu dan lengan Yesus bergeser dan otot-otot tubuh-Nya mengejang. Sulit sekali bernafas dalam posisi itu. Untuk sekadar bernafas, Yesus harus mengangkat tubuh-Nya dengan bertumpu pada kaki-Nya yang terpaku.3 Betapa sengsaranya Dia!
Sengsara itu tak pernah dilupakan oleh murid-murid-Nya, malah menjadi pokok kesaksian mereka tentang Dia. Seperti dikatakan Petrus kepada hadirin di rumah Kornelius, “Mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib” (Kis. 10:39). Yesus pun membiarkan bekas paku tetap terlihat pada tubuh mulia-Nya pasca kebangkitan. Bekas kebrutalan itulah yang meyakinkan Tomas, murid yang ragu-ragu, bahwa Gurunya telah bangkit dari kematian (Yoh. 20:20, 24-29).
Juga kita, murid Yesus di masa kini, terus mengenang dan menghayati sengsara Guru kita. Kita mengapresiasi Dia yang telah memikulkan hukuman bagi manusia berdosa. Kita memuliakan Dia yang lewat penyaliban telah menghadapi murka dan kutuk Allah terhadap dosa, sebab orang yang tergantung di kayu salib adalah terkutuk menurut hukum Allah (Ul. 21:23; Gal. 3:13).
Sayangnya, kenangan dan penghayatan itu telah ditinggalkan oleh sebagian umat Kristen sehingga dosa malah dipandang remeh dan dibiarkan terjadi. Contoh mencoloknya terlihat di Eropa, benua asal Bertram. Pornografi, hubungan sesama jenis, hidup bersama tanpa menikah, kawin-cerai jadi membudaya. Sementara itu, iman Kristen dibiarkan terpinggirkan dan diolok-olok lewat berbagai cara, termasuk karya seni.
Fakta itu berlawanan dengan semangat orang Eropa masa lalu, seperti Bertram dari Minden, yang justru berusaha membuat kekristenan membudaya dalam keeropaan. Bertram yang sangat dipengaruhi gaya lukis Bohemia dan Italia4 menggambarkan para penyalib Yesus dengan busana Eropa ala zamannya. Usaha ini—pengungkapan kekristenan lewat budaya setempat—perlu ditiru umat Kristen di berbagai belahan dunia. Itu akan membuat kekristenan dekat dan membumi bagi masyarakat setempat.
Sengsara Kristus juga perlu kita kenang dan hayati lewat karya-karya baik di bidang gelutan masing-masing. Kristus rela disengsarakan agar manusia kembali kepada tujuan penciptaannya sebagai wakil dan mitra Allah di dunia. Karya-karya baik kita adalah wujud kembalinya kita kepada tujuan tersebut.
Dan lewat karya-karya itu kita mengungkapkan syukur karena Kristus telah rela sengsara akibat brutalnya salib. Oleh-Nya kita menjadi lukisan indah di kanvas kehidupan—seperti lukisan Bertram—yang memuliakan Allah.
Catatan
1 Colum P. Hourihane. The Grove Encyclopedia of Medieval Art and Architecture, Volume 1. New York: Oxford University Press, 2012, hal. 321; “Crucifixion” dalam situs Art and The Bible. <https://www.artbible.info/art/large/501.html>.
2 Rick Renner. “Crucified: Jesus’ Experience on the Cross” dalam situs The Christian Broadcasting Network. <http://www1.cbn.com/onlinediscipleship/crucified%3A-jesus%27-experience-on-the-cross>; “Crucifixion: Capital Punishment” dalam situs Encyclopedia Britannica. <https://www.britannica.com/topic/crucifixion-capital-punishment>.
3 “Crucifixion”, Encyclopedia Britannica; Rick Renner, The Christian Broadcasting Network.
4 “Bertram of Minden”, Art and The Bible.