“Kemerdekaan … Memeluk Agamanya Masing-masing”

Salam sejahtera di bulan lima 2013, Sidang Pembaca!

Waktu bangsa majemuk-agama ini dipercayakan Tuhan kepada para pendahulu kita, mereka lekas memikirkan suatu jaminan agar warga Indonesia leluasa beragama. Maka mereka tetapkanlah pasal 29 ayat 2 dalam UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikianlah ide kebebasan beragama turut menyusun fondasi kokoh negara kita.

Itu jelas ketetapan yang baik. Hanya saja, dalam perkembangan terkini, warga Indonesia jadi lebih sering berkutat pada aspek “kemerdekaan … untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.” Buktinya, hari-hari ini bahasan tentang kebebasan beragama baru mencuat kalau ada rumah ibadat yang ditutup atau orang yang dihalang-halangi beribadat. Aspek “kemerdekaan … untuk memeluk agamanya masing-masing” justru jarang ditelaah simpulan-simpulan luasnya.

Bulan ini Komunitas Ubi (Kombi) mencoba menyelami yang jarang ditelaah itu guna mendapatkan mutiara-mutiara ide berharga seputar kebebasan beragama. Lima peladang menyajikan hasil penyelamannya dalam lima tulisan bernas.

Kebebasan beragama berarti bebas memilih agama sesuai dengan apa yang kita yakini. Ini simpulan logis dari “kemerdekaan … untuk memeluk agamanya masing-masing,” dan S.P. Tumanggor mengupasnya seraya melibatkan bahasan tentang pindah agama. Ia juga mengungkit pentingnya dan baiknya ide tepa selira ala Indonesia sebagai penunjang kebebasan memilih agama.

Kebebasan beragama tidak berarti bebas dari agama. Lasma Panjaitan mengungkapkan hal ini sambil mencermati tindak bangsa-bangsa maju Eropa yang gencar memberangus penyataan agama di ranah umum—bertentangan dengan koar-koar mereka sendiri tentang kebebasan beragama. Baginya, bangsa Indonesia punya teladan kebebasan beragama yang lebih masuk akal dan luwes, yang tidak membuat masyarakat terbebas dari agama, rem moralnya.

Kebebasan beragama berarti bebas meyakini ke-paling-benar-an agama yang dianut. Ini pun simpulan logis dari “kemerdekaan … untuk memeluk agamanya masing-masing,” dan Bunga Siagian mengkajinya seraya menanggapi wacana tentang semua agama sama saja. Ia juga mengargumenkan bahwa penganut sejati agama, yang meyakini agamanya paling benar, tidak harus berubah menjadi pembenci umat agama lain.

Kebebasan beragama tidak berarti bebas menjelek-jelekkan agama (lain). Viona Wijaya mengemukakan hal ini sambil menyoroti beberapa kasus penistaan agama yang muncul di luar dan dalam negeri. Baginya, kebebasan beragama dan sikap saling menghormati antar umat agama adalah dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan.

Kebebasan beragama berarti bebas yang tetap terbatas. Ini sama halnya seperti kebebasan apa pun di dunia, dan Yulius Tandyanto membedahnya seraya menyikapi isu tentang peluang munculnya agama-agama baru dalam iklim kebebasan beragama. Ia juga memberi suatu wawasan mengenai ketegangan antara agama-agama “resmi” dan agama-agama “suku” di Indonesia.

Seluruh untaian mutiara ide kebebasan beragama di atas merupakan simpulan-simpulan luas dari “kemerdekaan … untuk memeluk agamanya masing-masing.” Kombi bersukacita menyajikannya hanya dengan tujuan ikut serta membangun kehidupan beragama yang harmonis-dinamis di Indonesia sembari menonjolkan fitur-fitur bagus kebebasan beragama di Indonesia yang layak dicontoh dunia.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *