Bukan Bebas Menjelek-jelekkan Agama (Lain)

Oleh Viona Wijaya

Bulan September 2012, umat Muslim di seluruh dunia dilanda kemarahan yang tak terperikan. Hati mereka koyak menyaksikan sosok nabi yang amat mereka hormati dihina dan dijelek-jelekkan sedemikian rupa oleh sebuah video amatir buatan Nakoula Basseley Nakoula.1

Video Innocence of Muslim yang diunggah dalam situs YouTube itu menyebabkan gejolak di mana-mana. Koran-koran melaporkan umat Muslim memprotes video tersebut di Libya, Indonesia, Mesir, Tunisia, Lebanon, Yaman, Sudan, dan Gaza secara besar-besaran.2

Penghinaan serupa bukannya tidak dialami umat agama lain. Sebagai contoh, umat Kristen pernah digusarkan oleh filem The Last Temptation of Christ karya Martin Scorsese dan  novel Da Vinci Code karya Dan Brown yang isinya melecehkan tokoh panutan mereka.3 Umat Kristen juga memprotes karya-karya ini, meski gejolaknya tidak besar.

Sungguh mengherankan bahwa ada orang-orang yang “memberanikan diri” menjelek-jelekkan agama di muka umum. Di dunia Barat, dengan berlindung di balik jargon “kebebasan berekspresi,” orang leluasa saja membuat karya-karya untuk menghina agama dalam beragam bentuk: video, gambar, tulisan, buku, ceramah, dsb. Kebebasan beragama yang kerap mereka suarakan rupanya mencakup arti bebas menjelek-jelekkan agama!

Di Indonesia, sejak era Reformasi, tuntutan kebebasan beragama makin menguat seiring tuntutan kebebasan-kebebasan lainnya. Sayangnya, tuntutan kebebasan beragama itu belum diikuti dengan pemahaman yang jelas mengenai batasan-batasannya. Akibatnya, seiring tuntutan itu disuarakan, kita malah menemukan gejala kurang baik: penghinaan antar umat beragama makin bebas dilakukan.

Gejala ini pastinya dipengaruhi oleh perkembangan dunia maya yang sangat pesat. Makin mudah dijangkau orang, dunia maya makin sulit dikontrol, dan memberi orang ruang yang sangat luas untuk melancarkan aksi-aksi tak elok. Jika dulu penghinaan kepada agama lain terjadi di forum-forum khusus, kini kita bisa dengan mudah menjumpainya di berbagai situs.

Di situs-situs umum seperti situs berita, orang bebas saja mengumbar penistaan kepada agama lain di kolom komentar. Belum lagi di jejaring sosial! Di dunia nyata, buku-buku agama yang “menyerang” agama lain bebas saja dijajakan di toko-toko buku umum.

Kebebasan beragama yang dipahami secara keliru telah membuat banyak orang merasa bebas menyatakan pendapat yang menyerang/menjelek-jelekkan agama lain. Alasan mereka melakukan hal ini beragam—dari yang paling barbar, yaitu memang ingin mengungkapkan kebencian terhadap umat agama lain, sampai yang terdengar lebih elegan, yaitu hendak membukakan/membeberkan hal-hal yang tidak benar dari agama lain.

Mengungkapkan kebencian terhadap umat agama lain tentulah bertentangan dengan hakikat agama. Bukankah setiap agama mengajarkan pengikutnya untuk menjadi pribadi baik yang giat berbuat baik? Nah, menjelek-jelekkan agama lain di depan umum dapat membuat umat agama itu berang, dan dari berang dapat timbul hal-hal buruk seperti pertikaian dan huru-hara. Maka jelaslah bahwa menjelek-jelekkan agama lain tidak tergolong perbuatan baik, dan karenanya bertentangan dengan hakikat agama.

Di sisi lain, merasa tidak setuju dengan agama lain atau menilai ada kekeliruan pada agama lain adalah hal yang wajar. Namun, mesti ditimbang dengan bijaksana bagaimana atau di mana perasaan atau penilaian itu pantas diungkapkan. Mengingat banyaknya kerugian yang akan timbul bila itu diungkapkan di depan umum, sebaiknya pembeberan hal-hal yang dianggap tidak benar dari agama lain dilakukan di kalangan sendiri saja.

Ya, menafsir kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk menjelek-jelekkan agama lain di muka umum—sebagaimana sering terjadi di dunia Barat—sungguh kebablasan. Kita tidak harus mengikuti aspek negatif dari konsep kebebasan beragama yang disuarakan dan dipraktikkan dunia Barat. Lebih baik kita merumuskan kebebasan beragama (dan kebebasan berekspresi) yang lebih cocok bagi bangsa Indonesia, dan yang juga dapat menjadi suri teladan bagi dunia.

Kebebasan beragama dan sikap menghormati umat agama lain adalah dua sisi koin yang tak terpisahkan. Alangkah indahnya jika kita dapat menumbuhkan kebebasan beragama yang ramah dan santun. Kebebasan beragama, sekali lagi, bukan berarti bebas menjelek-jelekkan agama lain karena hal tersebut justru akan menghancurkan kebebasan beragama itu sendiri.

.

Viona Wijaya adalah seorang guru yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “The Innocence of Muslims’ Riots” dalam situs The New York Times. <http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/i/innocence_of_muslims_riots/index.html  >.

2 “Spread of Protests Sparked by Anti-Muslim Video” dalam situs The New York Times. <http://www.nytimes.com/interactive/2012/09/13/world/middleeast/spread-of-protests-sparked-by-anti-muslim-video.html?ref=innocenceofmuslimsriots&_r=0  > .

3Filem The Last Temptation of Christ menampilkan sisi kemanusiaan Yesus Kristus secara tidak alkitabiah, misalnya dengan menggambarkan Yesus depresi dalam menggumuli panggilan-Nya atau berimajinasi memiliki hubungan nikah dengan beberapa perempuan yang turut serta dalam pelayanan-Nya. Novel Da Vinci Code “mengargumenkan” bahwa Yesus menikah dan mempunyai anak dari Maria Magdalena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *