Oleh Hendy Yang
“Sudah jo kita mo sekolah. Pak Guru J so dari Natal nyanda sekolah.”1
Sore yang cerah di sebuah pulau kecil di perbatasan utara Indonesia menjadi saksi celetukan tiba-tiba Jeini di depan saya, yang waktu itu menjadi guru bantu2 di sekolahnya. Gadis cilik yang duduk di kelas 3 SD ini mengungkapkan kekecewaannyakarena walikelasnya belum juga kembali dari ibukota kabupaten (di pulau lainyang berjarak sejauh lima jam perjalanan dengan menggunakan perahu kecil).
Tidak hanya Jeini, semua anak di kepulauan ini memiliki pengalaman suram ditelantarkan berbulan-bulan oleh guru mereka. Para guru, khususnya yang telah menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dapat berlayar ke ibukota kabupaten, bahkan ke ibukota provinsi (di pulau lain lagi),dan bercokol di sana dalam waktu lama (berminggu-minggu atau berbulan-bulan) dengan berbagai-bagai alasan: mengurus administrasi, ada keluarga yang sakit, ombak terlalu kencang. Bahkan terkadang tidak ada kabar dari mereka—mungkin akibat tidak ada alasan yang terpikirkan lagi.
Namun, ketika para PNS guru itu ada di tempat, mereka pun tidak pasti bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Alasannya, mereka tergolong orang-orang yang memiliki status ekonomi dan tingkat pendidikan terbaik di desa. Dengan status yang demikian, mereka punya modal untuk menjalankan bisnis di desa3 dan untuk memegang jabatan strategis di desa. Peran berganda ini jelas sering mengganggu tugas pokok mereka sebagai pendidik. Para siswa sudah tidak merasa aneh jika waktu belajar mereka di sekolah harus terputus selama berjam-jam karena guru mengurusi hal lain.
Berlayar ke ibukota kabupaten,kondisi para abdi negara di sektor pendidikan pun tidak jauh berbeda. Kami, tim guru bantu, sering berusaha membantu merekamengembangkan keterampilan. Namun, ketika kami menganjurkan cara ajar yang kreatif dan yang membuat siswa aktif, hanya sedikit guru yang mau menerimanya.Kebanyakanguru tampaknya enggan mengeluarkan usaha lebih demi mencerdaskan anak didik. Kata seorang dari mereka, “Ah, murid toh akan tetap bodoh dan gaji kami tetap sama. Buat apa kami menambah pekerjaan?”
Sebagai abdi negara di sektor pendidikan, PNS guru seharusnya memandangpencerdasan anak bangsa sebagai tujuan akhir pekerjaannya. Mereka tidak boleh memandang kedudukan PNS guru itu sendiri sebagai tujuan akhir. Cara pikir mereka, sebagai pencerdas bangsa, haruslah melampaui cara pikir banyak orang Indonesia, khususnya di daerah terpencil, yang masih memandang kedudukan PNS sebagai jalan untuk mendapatkan banyak manfaat: jaminan hari tua, gaji yang tergolong tinggi untuk ukuran masyarakat daerah terpencil, tunjangan daerah terpencil yang mencapai puluhan juta, tunjangan sertifikasi, dan lainnya.
Saya bisa memahami bahwa tantangan di daerah terpencil sangat berat. Namun, sebagai orang yang pernah menjadi guru bantu di daerah macam itu, saya ingin berbicara dari hati ke hati dengan para abdi negara pendidik yang bertugas di pelosok Indonesia. Walaupun tidak mendapat pengawasan ketat karena daerah kerja yang terpencil, kita tetap dapat memotivasi diri untuk menjadi pendidik bermutu yang mencerdaskananak didik kita. Kita kuasai kurikulum sebaik-baiknya. Kita tinggalkan metode mengajar satu arah belaka. Kita ke depankan pendekatan pribadi sebagai ganti kekerasan lisan maupun fisik. Kita gunakan cara-cara kreatif untuk menangani dan menolong setiap anak didik mencapai performa terbaiknya.
Kita ingat bahwa Indonesia memiliki banyak mutiara terpendam.4 Dan sungguh mulia jika kita bisa ikut ambil bagian dalam menemukan mutiara-mutiara ini! Saya ingat Anjelike, siswi lain saya di pulau terpencil.Dengan satu tahun pelatihan intensif, gadis cilik yang duduk di kelas 5 ini dapat menjadi finalis sutradara cilik nasional, juara lomba matematika sekabupaten, siswi berprestasi sekabupaten, dan siswi teladan 2013. Bayangkan! Berapa banyak lagi mutiara terpendam yang dapat muncul berkilauan karena tangan dingin guru?
Jadi, biarlah para PNS guru di pelosok Indonesia mengatasi segala tantangan-hambatan dan mengabdikan diri kepada negara tercinta dengan mencintai murid-muridnya, memahami dan menjalankan fungsi guru, dan berusaha keras mewujudkan bangsa yang cerdas. Demi Indonesia yang lebih baik!
.
Hendy adalah seorang guru yang tinggal di Pulau Kemala, Sulawesi Utara.
.
Catatan
1 “Sudahlah saya mau sekolah. Pak Guru J sudah sejak Natal tidak datang ke sekolah.”
2 Selama tahun 2012-2013, saya dan tujuh orang teman diutus sebagai guru bantu oleh sebuah gerakan mengajar nasional ke delapan pulau terpencil di daerah perbatasan utara Indonesia.
3 Misalnya sebagai penyalur bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar, pengusaha taksi laut, atau penampung kekayaan alam.
4 Seperti dibuktikan Yohanes Surya dengan juara-juara olimpiade Fisika hasil binaannya yang direkrut dari pelosok-pelosok negeri.