Salam sejahtera di bulan sembilan 2016, Sidang Pembaca!
Sehat walafiat adalah dambaan semua orang di bumi, termasuk kita, semesta rakyat Indonesia. Namun, fakta hidup menyatakan bahwa sepanjang umur kita terus berpeluang terkena sakit-penyakit. Dalam keadaan demikian, kita sungguh bersyukur atas profesi-profesi yang menangani keafiatan masyarakat/bangsa, seperti dokter, perawat, dan apoteker. Dokter, secara khusus, punya peran penting bagi kesehatan umum karena keahliannya dalam menangani penyakit dan kewenangannya untuk meresepkan obat.
Peran penting itu sudah kita kenal baik dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain, kedokteran sudah menjadi bidang yang sangat diakrabi masyarakat/bangsa. Itulah sebabnya bulan ini Komunitas Ubi (Kombi) menyajikan tulisan seputar dokter/kedokteran yang relevan dengan hidup masyarakat dan dalam kerangka pikir keafiatan bangsa. Lima peladang—tiga dari latar kedokteran dan dua dari latar non-kedokteran—meracik lima tulisan apiknya.
Menjadi dokter adalah lebih dari sekadar menghafal gejala penyakit dan obat serta pandai mencocokkan gejala penyakit dengan obat. Nadya Sumolang makin memahami hal itu setelah makin mendalami pembelajaran di fakultas kedokteran. Ia menguraikan gambaran tentang pengafiat bangsa yang ideal lewat frasa-frasa “bermata elang,” “berhati singa,” dan “bertangan wanita.”
Untuk menghasilkan pengafiat bangsa yang ideal, pendidikan kedokteran yang afiat adalah kebutuhan mutlak. Dengannya lulusan fakultas kedokteran akan menjadi dokter yang cakap dalam menyehatkan bangsa. Pendidikan kedokteran yang tidak/kurang afiat, seperti diutarakan Viona Wijaya, hanya akan menyumbangkan masalah keafiatan bangsa.
Bukan hanya cakap menyehatkan, kalangan dokter pun seharusnya menelurkan berbagai inovasi cemerlang. Herdiana Situmorang menyebut itu sebagai suatu modal penting para dokter dalam mengafiatkan masyarakat, bangsa, dan dunia. Ia mengumpamakan dokter sebagai pohon inovasi dan mendambakan tumbuh suburnya pohon-pohon semacam ini di negeri tercinta.
Obat adalah produk penting perusahaan obat untuk mengafiatkan bangsa. Dokter yang bijak dan bajik akan meresepkan obat berdasarkan pertimbangan termatang terhadap kondisi pasien. Namun, “main mata” antara perusahaan obat dengan dokter, seperti dikemukakan S.P. Tumanggor, tidak menolong keafiatan bangsa sebab membuat pasien terbebani biaya besar dan jadi berlimpah obat.
Kurang yakin kepada dokter dan rumah sakit dalam negeri, banyak orang Indonesia berangkat ke luar negeri untuk berwisata medis. Ivan Sihombing menilai hal itu tidak menguntungkan bagi bangsa dan memberi PR besar bagi para dokter Indonesia. Ia merindukan Indonesia menjadi tempat mencari keafiatan bagi orang Indonesia sendiri dan bagi orang bangsa lain.
Di balik setiap isu yang menyeruak di atas, nyatalah betapa pentingnya peran dokter bagi bangsa. Kombi berharap tulisan-tulisan bulan ini dapat menggugah dan menyemangati laskar dokter Indonesia untuk menjadi pengafiat bangsa yang terbaik. Semoga kiprah mereka semakin hebat dalam menyehatkan masyarakat di kota-kota besar dan di pelosok-pelosok negeri. Sehat walafiat, bangsa Indonesia!
Selamat ber-Ubi.
Penyunting Kombi