Vincent Karunzu: Meneladani Kristus, Menolak Diam

Oleh Victor Sihombing

Senin, 21 Maret 2016, duka menyelimuti Kivu Utara, salah satu provinsi di negara Republik Demokratik Kongo (RDK). Vincent Machozi Karunzu, pastor berusia 51 tahun yang giat menentang pelanggaran hak asasi manusia di daerah itu, tewas di tangan sepuluh tentara RDK. “Mengapa kalian membunuh?” Pertanyaan retoris itu menjadi ucapan terakhir sang pastor ketika ditembak mati tanpa ampun.1

Karunzu, yang nama tengahnya (Machozi) berarti “anak tangisan”, menangisi ketidakadilan di negerinya dan menjadi martir karena menolak diam saja. Ia menghidupi sabda Alkitab ini: “[J]ika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr. 2:20-21).

Saat nyawanya terancam, Karunzu tak mundur dari perjuangan. Ia malah melihat kematian sebagai kesempatan untuk meneladani Kristus. Beberapa bulan sebelum dibunuh, pastor dari tarekat Augustinians of the Assumption itu berkata kepada seorang rekannya, “Berdoalah untukku, sebab aku akan dibunuh. Aku bisa merasakannya … tapi seperti Kristus, untuk kebaikan bangsa kita, aku tidak akan diam.”2

Karunzu memahami panggilan alkitabiah untuk menderita, bahkan mati, karena berbuat baik. Kisah hidupnya menunjukkan bahwa bayang-bayang maut sudah tidak asing baginya. Pada tahun 2003 ia sampai harus mengungsi ke Amerika Serikat karena nyawanya terancam. Mengabaikan ancaman itu, ia pulang ke RDK pada tahun 2012 dan mengalami tujuh kali usaha pembunuhan dengan bom sebelum akhirnya berhasil dibunuh.3

Seperti Kristus yang membawa kabar baik—injil—untuk “membebaskan orang yang tertindas” (Luk. 4:19), demikianlah Karunzu berjuang. Sejak tahun 1994 hingga kini Kivu Utara telah dijadikan zona perang oleh milisi-milisi, yakni kelompok-kelompok bersenjata. Sejak saat itu 5,4 juta orang telah mati di sana karena kekerasan, penyakit, dan kelaparan. Rakyat—baik pria, wanita, maupun anak-anak—dipaksa milisi untuk bekerja menggali mineral koltan yang melimpah di daerah itu. Di banyak desa, tiga perempat kaum wanita diperkosa.4

Karunzu membuat situs internet Beni Lubero untuk mendokumenkan kekejaman yang dialami rakyat.5 Ia menggunakan situs yang berpengaruh besar itu untuk “mengecam apa yang dilihatnya sebagai kolusi antara para elite politik, faksi-faksi bersenjata, dan kepentingan-kepentingan dagang untuk mengeksploitasi sumber daya alam [Kivu Utara]”.6 Bahkan ia pun mengecam keterlibatan presiden-presiden RDK dan Rwanda dalam pembantaian rakyat.7 Situs Beni Lubero mengungkapkan bagaimana sang pastor menolak diam di hadapan penindasan terhadap bangsanya.

Karena segala perbuatan baik itu Karunzu harus menderita lalu menjadi martir. Ia bukan mati karena bercerita tentang Kristus atau menolak menyangkal Kristus, melainkan karena berbuat baik—persis seperti digambarkan Rasul Petrus. Dan itu pun sama saja dengan mati karena Injil, sebab ia meneladani Kristus, menolak diam, dan terlibat dalam usaha “membebaskan orang yang tertindas”—salah satu aspek Injil.

Rohaniwan Kristen di seluruh dunia perlu belajar dari Karunzu untuk punya hati dan sikap terhadap pergumulan masyarakat. Selaku gembala umat, mereka harus mengajarkan dan mencontohkan bahwa perbuatan baik tidak terbatas pada perbuatan “berbau” agamawi saja. Jika perbuatan baik ternyata mendatangkan penderitaan, mereka harus memahaminya sebagai panggilan mulia untuk mengikuti jejak Kristus.

Jenazah Karunzu diantar ke tempat perhentian terakhirnya di Butembo oleh 30.000 pelayat. Selama tiga hari, toko-toko dan kantor-kantor pemerintahan tutup.8 Semua berkabung sekaligus mengangkat hormat untuk sang pastor. Memang tidak semua aksi berbuat baik mendatangkan penderitaan atau kematian. Tapi kalaupun terjadi demikian, orang Kristen sejati akan memandangnya sebagai suatu kehormatan, suatu “kasih karunia pada Allah”, yang menuntun kepada mahkota kehidupan (Why. 2:10).

Jumat, dua ribu tahun yang lampau, duka menyelimuti Yerusalem. Yesus Kristus, yang giat menentang pembelengguan dosa, kebodohan, kezaliman atas manusia, tewas di tangan para pemuka agama Yahudi dan pemerintah Romawi. Mereka mengira bisa membungkam Dia di kayu salib. Mereka salah. Ia terus berbicara melalui orang-orang yang meneladani-Nya, seperti Vincent Karunzu yang mati karena menolak diam di hadapan ketidakadilan.

Victor Sihombing adalah seorang karyawan perusahaan konstruksi fasilitas industri yang bermukim di Depok, Jawa Barat.

Catatan

1 Lihat “Gunmen kill Congolese priest who reported on atrocities” dalam situs Catholic News Agency. <http://www.catholicnewsagency.com/news/gunmen-kill-congolese-priest-who-reported-on-atrocities-24672/>.

2 Lihat “Africa/DR Congo – Assumptionist priest, who denounced the exploitation of Coltan to the detriment of local populations, has been killed” dalam situs News.va-Official Vatican Network. <http://www.news.va/en/news/africadr-congo-assumptionist-priest-who-denounced>.

3 Art Jahnke. “Machozi’s Calling” dalam situs Boston University. <https://www.bu.edu/bostonia/fall16/vincent-machozi-congo-machozis-calling/>.

4 Art Jahnke, “Machozi’s Calling”. Letak Kivu Utara berbatasan dengan wilayah negeri Rwanda dan Uganda. Sengketa etnis di Rwanda, yang bermula di tahun 1994 (dan terkenal sebagai “genosida Rwanda”), berdampak besar kepada negeri-negeri sekitarnya. Koltan adalah mineral berharga yang banyak digunakan dalam pembuatan barang-barang elektronik.

5 Art Jahnke, “Machozi’s Calling”. Beni dan Lubero adalah nama-nama kota besar yang letaknya masing-masing di utara dan di selatan Provinsi Kivu Utara.

6 John L. Allen Jr. “Priest’s murder in Congo shows the need for a new concept of martyrdom” dalam situs Crux. <https://cruxnow.com/church/2016/03/22/priests-murder-in-congo-shows-the-need-for-a-new-concept-of-martyrdom/>.

7 Rose Marie Berger. “Congolese Priest Fighting Coltan Mining Assassinated” dalam situs Sojourners. <https://sojo.net/articles/congolese-priest-fighting-coltan-mining-assassinated>.

8 Art Jahnke, “Machozi’s Calling”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *