Candu dan Cambuk bagi Gereja

Oleh Bayu Supiom

“Agama adalah candu rakyat.” Itulah ungkapan yang dilontarkan Karl Marx. Ungkapan ini kemudian menyesatkan banyak orang ke dalam ideologi Marx.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candu berarti “sesuatu yang menjadi kegemaran.” Ia seolah-olah mengikat erat sehingga sulit dilepaskan. Candu membuat orang lupa akan hal lain sebab fokus terhadapnya begitu besar.

Kalau ditelaah lebih lanjut, ucapan Marx tampak ada benarnya. Agama memberi efek narkotis bagi sebagian orang. Candu terhadap agama membuat orang terbuai sehingga fokus terhadap dunia rohani sangatlah besar. Dunia sekuler atau hal-hal yang bersifat horizontal cenderung diabaikan.

Kekristenan di Indonesia tak lepas dari “efek narkotis” tersebut. Gereja-gereja sebagai pusat gerak jemaat tampaknya lebih mementingkan urusan “dapurnya” daripada perannya sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Tak dapat disalahkan apabila anggotanya berlaku tak beda. Orang-orang Kristen yang saleh cenderung lebih mengurusi hal-hal vertikal daripada hal-hal horizontal.

Gereja yang menjadi “candu” sangat dekat dengan kita. Gejalanya tampak dalam sikap seperti: kurang peduli terhadap masyarakat sekitar, kurang peduli permasalahan bangsa, dll. Dalam pada itu, gereja ini tetap gencar menggembar-gemborkan hal-hal vertikal. Akhirnya, anggotanya terbuai dengan segala seremonial gerejawi namun lupafungsi gereja bagi lingkungan sekitar.

Beberapa anggota pasti telah sadar. Namun, mereka tak berani berbuat apa-apa sebab gereja mereka pahami sebagai tempat yang sakral dan agung. Kritik terhadap gereja, begitu mungkin pikir mereka, merupakan dosa besar dan tak terampuni. Tetapi bagaimanakah teladan Yesus, Guru kita, sehubungan dengan hal tersebut.

 Yesus Kristus tidaklah seperti kebanyakan orang Kristen. Ia tidak menganggap apa pun yang dikerjakan dalam Bait Suci pasti benar. Satu kasus terkenal pernah menunjukkan sikap Sang Teladan Agung: “Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba, dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu sapi mereka… (Yohanes 2:14-15).”

Yesus tidak memandang Bait Suci sebagai tempat yang haram untuk dikritik. Dengan cambuk tali Ia membenahi Bait Suci yang telah berubah fungsi. Yesus marah: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Matius 12:13).

Dengan cambuk tali Ia mengajar orang untuk menghormati Bait Allah sekaligus bertindak apabila Bait Allah telah disalahfungsikan. Dengan cambuk tali Sang Guru Agung meneladankan kepada umat-Nya perihal menghormati Bait Allah.

Begitulah seharusnya sikap kita ketika melihat penyimpangan dalam gereja. Kita dapat mengangkat “cambuk-cambuk” untuk membenahi fungsi gereja yang bergeser: menulis surat kepada pemimpin gereja, mengajak diskusi penatua gereja, menerbitkan artikel, dll. Tentu saja semuanya harus mengikuti panduan hikmat Tuhan mengenai waktu dan cara yang tepat.

Kita boleh bersikap kritis dan keras terhadap gereja. Sikap yang demikian tidak berarti bahwa kita tidak mengasihi gereja. Justru sebaliknya, kita bersikap demikian karena kasih. Sebab itu, jangan sampai tindak tanduk kita tidak mencerminkan kasih itu sendiri.

Bila setiap orang Kristen peduli dan mau angkat cambuk ketika gereja menyimpang, fungsi gereja dapat dipulihkan. Obat penangkal ungkapan Karl Marx—“Agama adalah candu”—bukanlah untaian kata belaka namun tindakan yang mewujudkan keseimbangan gereja di sisi vertikal (relasi dengan Tuhan) dan horizontal (relasi dengan sesama). Marilah kita pedulikan gereja dan peka apabila Tuhan mengharapkan kita angkat cambuk!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *