Indonesia Tanah Air (Versi) Beta?

Oleh Philip Ayus

Dalam dunia komputer, sebuah program ataupun fitur baru yang diluncurkan dalam tahap uji coba untuk mendapatkan masukan dari pengguna biasanya diembel-embeli istilah “versi beta.” Dengan demikian, para pengguna dapat mengetahui bahwa meski program tersebut sudah dapat dimanfaatkan, beberapa gangguan yang muncul bisa dimaklumi dan dilaporkan kepada pengembang agar diperbaiki.

Jauh sebelum komputer diperkenalkan ke seluruh dunia, Indonesia sudah mengenal istilah “beta” tersebut, tentunya dalam pengertian yang berbeda. Istilah Melayu yang lebih mashur di Ambon sebagai padanan kata “aku” tersebut bahkan termaktub dalam syair salah satu lagu kebangsaan kita, Indonesia Pusaka. Penggubah lagu tersebut tentu saja bermaksud agar kita semua yang menyanyikannya benar-benar mempunyai rasa memiliki terhadap negeri kita, Indonesia.

Adalah kita, orang-orang yang dilahirkan di Jamrud Khatulistiwa ini, pemilik sejati dari Nusantara. Kita bukanlah orang-orang pendatang yang “menumpang hidup” di negeri seribu pulau ini. Keindonesiaan kita bukan sekedar terukur dari Akta Kelahiran yang bisa dipalsukan, namun dari kulit ari kita yang tertanam di perut ibu pertiwi dan juga lidah yang tak canggung ketika berteriak, “Merdekaaa..!!” Kita adalah putra dan putri Indonesia—itulah jatidiri kita yang sesungguhnya. Oleh karena itu, masing-masing kita sudah selayaknya bernyanyi, “Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…!”

Akan tetapi, perubahan jaman telah menggerus jatidiri kita, sedikit demi sedikit. Ada orang Indonesia yang menafsirkan “beta” dalam lagu tersebut sebagai istilah kepemilikan pribadi. Orang lain hanya hamba sahaya yang menumpang hidup saja. Itu sebabnya, dengan gagah berani ia mengeksploitasi Ibu Pertiwi. Dalihnya untuk memajukan negeri, namun ujung-ujungnya mempertebal kantong sendiri. Padahal, lagu itu semestinya dinyanyikan bersama-sama, dihayati bersama-sama. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Yang lainnya lebih parah lagi, karena menafsirkan “beta” sebagai istilah komputer: istilah barang canggih, istilah masa kini. Indonesia dianggapnya masih dalam “versi beta.” Edisi uji coba. Maka terjadilah berbagai upaya coba-coba dari para penguasa. Satu contoh hangat terjadi di Bogor: coba-coba melawan Putusan MA, bahkan Yang Mahakuasa, hingga tak segan menutup rumah ibadat berizin. Sejauh ini, “coba-coba” tersebut berhasil, karena para pemimpin toh diam-diam saja.

Di tempat lain, ada yang coba-coba bermain dengan palu keadilan yang diamanahkan kepadanya. Para pembantai manusia divonisnya hanya tiga sampai enam bulan saja. Rendahnya vonis itu mengungkapkan secara nyata bagaimana penjaga gawang keadilan telah mengingkari sumpah jabatan mereka sendiri.

Indonesia bukanlah tanah air milik pribadi, bukan pula tanah air (versi) beta. Indonesia adalah tanah air milik kita bersama, bukan milik Pulau Jawa atau Sumatera saja. Namun, faktanya ternyata tak seindah kata. Nun jauh di pelosok negeri, jalan-jalan rusak tak kunjung diperbaiki. Kontras sekali dengan jalur Pantura yang selalu mendapat “THR” perbaikan setiap kali mendekati lebaran. Padahal, Kapuas Hulu itu Indonesia juga, sama Indonesianya dengan Papua, sama Indonesianya dengan Jakarta.

Delapan puluh tiga tahun yang lalu, para pemuda pendahulu kita bersepakat bersatu. Mereka menyerukan kesatuan visi, lama sebelum Proklamasi. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Mereka menyadari makna kebersamaan. Mereka tahu pentingnya bersinergi, menyatukan waktu dan sumber daya untuk menggapai cita-cita bersama. Mereka ingin menyatu dalam sebuah nusa, melebur dalam sebuah bangsa, menunggal dalam bahasa!

Inilah semangat yang mesti kita jaga sebagai pilar-pilar bangsa yang ditempatkan Tuhan di Indonesia. Sudah semestinya kita menghadirkan roh yang sama sebagai pemuda-pemudi bangsa. Di tengah berbagai ancaman disintegrasi bangsa, sudah selayaknya kita bersuara dan berkarya untuk menjaga persatuan kita. Indonesia bukanlah tanah air versi beta. Indonesia adalah tanah air beta—kita semua.

.

Philip adalah seorang pegiat media yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *