Oleh Hendy Yang
“Kita sudah bosan miskin. Jadi marilah kita hilangkan julukan miskin untuk daerah kita.”1 Demikianlah imbauan Gubernur NTT, Frans Lebu raya, kepada rakyatnya untuk mendaki keluar dari jurang kemiskinan. Hati sang gubernur pilu bukan kepalang. Betapa tidak, nama daerah yang dipimpinnya, salah satu kantong Kristen di Indonesia, sering dipanjangkan menjadi Nusa Tetap Tertinggal atau Nusa Tetap Termiskin.
Sedihnya lagi bagi kita, NTT bukan satu-satunya daerah Kristen yang terpuruk di Indonesia. Berdasarkan survei Badan Pusat Stastistik pada bulan Agustus 2010, tiga propinsi yang memiliki warga Nasrani dalam jumlah besar menghuni papan atas kemiskinan: Papua Barat (35,8%), Papua (34,88%), dan Maluku (27,74%).2 NTT sendiri berada di peringkat kelima dengan angka 23,3%.
Ini sangat ironis, sebab banyak orang Kristen di Indonesia sesungguhnya berkantong tebal. Buktinya, gereja-gereja megah bernilai ratusan miliar dapat berjejak kokoh di berbagai kota besar di Indonesia. Bila Natal tiba, rangkaian perayaan berbiaya ratusan juta rupiah meruyak di mana-mana.
Tentu saja tidak ada salahnya membangun gereja senilai ratusan miliar. Tidak salah juga merayakan Natal seharga ratusan juta rupiah. Yang keliru adalah: warga Papua Barat, Papua, Maluku, NTT, saudara sebangsa dan seiman kita, masih melarat di tengah segala deru pembangunan dan perayaan itu.
Logisnya, jika orang Kristen mampu mengeluarkan uang untuk gereja mewah dan Natal megah, apalagi untuk sesuap nasi bagi masyarakat Papua Barat. Sayangnya, dalam pikiran orang Kristen di Indonesia, memberi untuk Kerajaan Allah sering diartikan secara sempit: menyumbang untuk pembangunan gereja, acara Natal, dan segala macam kegiatan berbau rohani lainnya. Tanggung jawab saling memperhatikan dan mendukung antar rekan seiman dan sebangsa malah pudar.
Orang Kristen di satu sisi dituntut untuk peduli bangsa, seperti ditulis S. P. Tumanggor, “Jika Allah berperan dalam hidup bangsa kita, tentu kita juga tak akan berbuat kurang. … Pemahaman akan bingkai daulat Allah atas bangsa-bangsa ini tak dapat tidak menggugah kita untuk mengurus, membela, dan memashurkan bangsa kita dalam babak zaman kita.”3
Namun, di sisi lain, orang Kristen juga dituntut untuk peduli secara khusus kepada orang sebangsa yang seiman. Imamat 25:35 menyatakan, “Apabila saudaramu jatuh miskin sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau HARUS menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu” (tekanan oleh penulis).
Ayat di atas dengan jelas menegaskan tanggung jawab umat Allah (orang Kristen, dalam konteks bahasan kita) untuk membantu saudaranya—sebangsa dan, khususnya, seiman—yang jatuh miskin. Hal ini penting supaya “ia dapat hidup di antaramu.”
Senada juga yang disampaikan Ulangan 15:7,10: “Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang saudaramu di dalam satu tempatmu, di negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati atau pun mengenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu. Engkau HARUS memberikan kepadanya dengan limpahnya dan janganlah hatimu berdukacita apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh karena hal itulah Tuhan, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu” (tekanan oleh penulis).
Ayat tersebut lantang memerintahkan kita untuk memperhatikan saudara seiman yang miskin. Kita sekali-kali tidak boleh tega “menegarkan hati atau pun menggenggam tangan” terhadapnya. Sebaliknya, kita harus bertindak nyata “memberikan kepadanya” sesuatu yang menolong mengatasi permasalahan hidup mereka.
Sebagai contoh, kita bisa membangun sekolah, mengadakan pelatihan wirausaha dan pengolahan sumber daya alam, menyediakan toren air, mendukung tenaga pengajar setempat, membangun perpustakaan, menanamkan modal, membuka industri, membangun puskesmas, membangun panti asuhan, dan sebagainya.
Banyak upaya dapat kita lakukan, tapi tentu saja semuanya harus disesuaikan dengan kemampuan diri kita. Firman Tuhan menerangkan, “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu (2 Kor. 8:12).”
Mari memberi kepada saudara seiman-sebangsa kita.
.
Hendy adalah seorang alumnus jurusan teknik mesin yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Gubernur NTT: Kami Sudah Bosan Miskin” dalam situs <http://www.tempo.co/hg/nusa_lainnya/2011/03/21/brk>.
2 “Dari 33 Provinsi, Papua Barat Paling Tinggi Angka Kemiskinan” dalam situs <http://www.papuabaratnews.com/index.php?option=com_content&view=a>.
3 “Bagaimana Kita Tidak Peduli Bangsa” dalam situs <http://komunitasubi.wordpress.com/2011/06/17/bagaimana-kita-tidak-peduli-kepada-bangsa-kita/>.
Agama-murni adalah mengurus/memelihara yatim piatu dan janda yang kesusahan (James1:27a-NIV) atau dengan kata lain mengurusi/memelihara orang lain yang kesusahan, bukan denominasi.