Telinga Natal

Oleh Nevi Tambunan

Mengenang kisah Natal, saya bertanya-tanya, apa jadinya kalau Maria tidak mau mendengarkan kata-kata malaikat tentang kandungannya? Apa jadinya kalau Yusuf bersikukuh tidak mau menerima Maria? Apa kata dunia kalau Yusuf tidak mau menamai bayi Maria “Yesus”? Atau kalau dibiarkannya saja Maria dirajam sampai mati karena dituduh berzinah? Apa jadinya kalau para gembala tak mendengar seruan malaikat tentang bayi mungil di sebuah kandang hina?

Alkitab memang tidak mencatat jawabannya. Namun, sejarah kelahiran Kristus telah memanfaatkan telinga-telinga manusia berdosa. Malaikat berbicara dan manusia mendengar—mendengar dengan penuh perhatian dan tidak tinggal diam. Sayangnya, manusia moderen terlalu sibuk, semakin individualis, dan semakin asyik dengan kehidupan diri sendiri.

Di kota-kota besar, kita sudah sulit melihat ciri khas orang Indonesia yang ramah dan santun. Hampir setiap orang yang saya temui di jalan dan bis kota sibuk dengan telepon genggamnya. Sepertinya orang kota tak bisa lepas dari telepon genggam itu. Sudah biasa orang menggunakan pemutar MP3 dengan headset menyumpal telinganya. Sambil menutup mata mereka tampak begitu menikmati lagu-lagu.

Orang-orang kantoran atau mahasiswa senang nongkrong di mal dengan laptop di hadapannya. Entah mereka sedang mengerjakan proyek atau tugas-tugas yang harus dikumpulkan atau sekadar menikmati waktu dengan fasilitas internet bebas yang tersedia. Saya ragu mereka bisa mendengar dengan cermat hiruk pikuk di sekitarnya. Dan, pasti di antara mereka ada orang-orang Kristen, sedihnya, termasuk saya.

Sepertinya mendengar adalah kegiatan sepele. Biasa saja, tidak terlalu berdampak. Namun, untuk hal sederhana ini, kita, khususnya orang-orang kota, tidak rela mengorbankan waktu dan tenaga. Kita lebih suka menikmati waktu sendiri karena banyak pekerjaan, lelah bekerja, atau ingin istirahat saja. Mungkin kita juga berkata bahwa kita malah butuh didengarkan. Kita juga banyak masalah.

Bukankah itu salah satu motivasi sebagian orang Kristen pergi ke gereja? Kita ingin Tuhan mendengarkan jeritan hati kita melalui doa dan lagu-lagu. Mentalitas kita masih untuk mendapatkan, bukan memberi, meskipun kita tampak sebagai orang beribadah yang setia memberikan persembahan.

Sejatinya, mendengar adalah aktivitas yang bersifat terapi—bukan sekadar mengerti kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicara. Kalangan psikologi sering menyebutnya sebagai mendengar dengan telinga ketiga, yaitu hati. Dalam tulisan ini saya menyebutnya sebagai mendengar dengan telinga Natal. Kegiatan ini tidaklah mudah, tetapi kita bisa melakukannya dengan sederhana.

Ada orang-orang di kantor yang perlu kita dengar keluh kesahnya. Ada anak, istri, suami di rumah yang perlu kita dengarkan suka dukanya, kebingungannya. Kita bisa memulai dengan mencoba merefleksikan apa yang dirasakan orang lain lalu bertanya, misalnya, “Kamu lagi sedih ya? Lagi capek ya?” Ketika berbicara, kita bisa memperhatikan baik-baik lawan bicara. Alangkah indahnya relasi yang seperti itu.

Dalam kondisi segar bugar hal itu mungkin mudah dilakukan. Namun, dalam kondisi lelah seringkali tidak mudah. Lebih baik memanfaatkan teknologi dan menikmatinya sendiri: ber-BB-an, berinternetan, atau dengar musik sendirian. Akan tetapi, kisah Natal mengajarkan kasih yang peduli kepada orang lain. Dan kita bisa menunjukkan kasih itu dengan menggunakan telinga Natal.

Ayah dan ibu Kristen bisa menjadi “palungan” yang nyaman untuk keluh kesah anak-anaknya. Dokter-dokter Kristen menjadi tempat yang menghibur untuk menuturkan rasa sakit tanpa takut bayar mahal. Guru-guru Kristen menjadi tempat yang tepat bagi muridnya untuk berterus terang, “Saya belum mengerti ini dan itu,” “Saya ingin menjadi seperti Bambang Pamungkas, bukan Einstein.” Pegawai-pengawai Kristen menjadi sahabat yang baik untuk mengobrol. Penumpang-penumpang Kristen di bis menjadi teman baru yang enak untuk berbagi cerita dalam perjalanan, apalagi kalau ada kemacetan.

Demikianlah telinga Natal—telinga kasih yang peduli kepada orang lain. Telinga ini senantiasa bersedia mendengar sudut pandang orang lain sehingga tidak memaksakan kehendak. Telinga ini berbelas kasih dan peduli kepada pergumulan orang lain sehingga membantu menyelesaikan banyak masalah. Bayangkan, betapa besar dampaknya bagi masyarakat, bangsa, dan dunia kita!

.

Nevi adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan konseling Kristen yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *