Pada hari Senin, 19.12.2011, Koran Tempo mengetengahkan Komunitas Ubi (bersama beberapa komunitas lainnya) dalam laporan berjudul “Yang Muda Mengubah Bangsa.” Komunitas Ubi menyambut positif maksud dan tujuan laporan itu, namun merasa perlu menjernihkan beberapa informasi yang kurang tepat. Berikut adalah kutipan laporan tersebut.
Yang Muda Mengubah Bangsa
Kaum muda menentang generasi tua. Tak asal menentang atau frustrasi ke arah negatif, tapi justru terpicu menjadi kreatif. Mereka Komunitas Kembang Merak. “Kami mulai mempertanyakan peran generasi muda. Kenapa kami sekadar menjadi penikmat dan tidak lebih dari itu,” kata Libabun Niam, salah seorang penggagas kelompok itu.
Kembang Merak merasa ganjil diskursus publik dikuasai oleh dosen, budayawan, seniman, dan politikus. “Regenerasi hadir ketika yang muda diberikan keluasan tempat,” ujar Niam. Nah, berangkat dari kegerahan generasi itu, komunitas yang kini digerakkan oleh 16 anak muda ini membahas semua topik, dari sejarah, sastra, sosiologi, filsafat, hingga komunikasi.
Pada prakteknya, Kembang Merak merayakan keberagaman wacana. Mereka menerbitkan buku bertema sastra dan budaya serta bekerja sama dengan Perpustakaan Kota Yogyakarta dan penerbit Bukujogja menggelar diskusi publik setiap bulan. Komunitas yang digagas oleh Niam, Achmad Choirudin, Ahmad Musthofa Haroen, dan Arief Kurniar Rakhman pada 2006 ini juga terlibat dalam penulisan sejarah korban politik 1965 bersama Fopperham dan Galang Press pada Februari-Maret 2011.
Mereka adalah alumnus dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mereka mengarahkan korban tragedi dengan menulis sendiri. Sesuatu yang selama ini dipendam karena merupakan pengalaman pahit. Empat penggagas komunitas itu dua kali menjadi jawara di Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) 2010 dan 2011 yang digelar oleh Tempo Institute. Pergerakan online komunitas ini bisa dilihat lewat http://komunitaskembangmerak.wordpress.com, dengan jargon “Inilah ruang di mana ide dilontarkan dan dikagumi”.
Kegamangan yang serupa juga dirasakan empat muda-mudi Kristen di Bandung. Mereka tidak puas dengan peranan Kristen di Indonesia selama ini. Mereka lalu menggagas Komunitas Ubi. “Karena membumi dan dinilai rendah hati. Buahnya di akar. Daunnya bisa dijadikan sayur, batangnya bisa jadi kerangka. Amat bermanfaat,” kata penggagas komunitas itu, Yulius Tandyanto.
Gagasan dilontarkan lewat dunia maya pranala www.komunitasubi.wordpress.com. Ubi menyorot gereja Indonesia yang memusatkan perhatian pada urusan rohani belaka. “Orang Kristen harus memiliki andil menyejahterakan bangsanya.” Komunitas ini meluncurkan tulisan perdananya pada 17 Juni 2011.
Sejak itu produk utama Ubi adalah artikel pendek 500 kata. Sebanyak enam artikel rata-rata diterbitkan setiap saban bulannya. Tulisannya berbau pencerahan dan kritik terhadap gereja dan bangsa. Otokritik gereja dinilai Ubi masuk akal dan tidak menyimpang dari Al-kitab.
Kini, pranala Ubi memiliki 1.878 pengunjung. Komunitas yang dipegang oleh Yulius, Viona Wijaya, Efraim Sitinjak, dan Samuel Tumanggor ini juga menjadi salah satu jawara di KEM Tempo 2010. Keseriusan mengelola artikel berbuah hasil. Ubi menelurkan penulis buku, Samuel; menulis dua buku berjudul Orang Nasrani Pandu Bangsamu dan Bangkit Memandu Bangsa. Menurut Yulius, semua redaksional tulisan dipersiapkan secara serius. Tulisan diusahakan mengikuti kaidah bahasa yang enak dibaca dan baik. “Satu perguruan sama Tempo, yang enak dibaca dan perlu,” katanya.
Tidak kalah inovatif adalah komunitas Hifatlobrain. Komunitas ini tempat para traveler mengeksplorasi cara baru mendokumentasikan perjalanan. Tujuan utamanya adalah mencerdaskan dunia wisata Indonesia. “Hifatlobrain telah menerbitkan lebih dari 100 catatan perjalanan dan foto wisata,” kata Ayos Purwoaji, penggagas komunitas.
Komunitas ini berawal dari pembuatan e-book oleh Ayos dan temannya tentang perjalanan dua minggu ke Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada 2009. Ketagihan membuat dokumentasi, Ayos kemudian memfasilitasi para penulis perjalanan di http://www.hifatlobrain.net. Dari situ Ayos mempunyai satu komunitas yang namanya Hifatlobrain Travel Institute, yang menampung anak muda yang mau belajar menulis perjalanan.
Saat ini sekitar 40 traveler dari seluruh Indonesia menjadi doyan menulis kisah perjalanan. Jika tulisannya bagus, akan dilirik beberapa majalah wisata. “Banyak juga dimuat di majalah wisata,” kata Ayos jawara KEM Tempo 2009.
Dalam dua tahun terakhir, Hifatlobrain menerbitkan tiga e-book perjalanan, di antaranya Alone Longway From Home (Bali, Lombok, dan Flores), Tour de Laweyan (Kampung Batik Laweyan, Solo), When Will You Come Home (Pulau Madura), yang bebas diunduh oleh siapa saja. Ketiga e-book ini telah diunduh lebih dari 8.000 kali oleh pengunjung.
Pada pertengahan 2011, Hifatlobrain memproduksi travel video berjudul Homeland berdurasi 1 jam 38 menit yang berlatar belakang Gunung Bromo. Dalam dua hari saja, video pendek ini ditonton 10 ribu pengunjung. Pada Desember 2011, Hifatlobrain mengadakan program Traveler in Residence. Program bagi ilustrator untuk menetap di satu kota selama sebulan dan melakukan proses dokumentasi perjalanan dengan media gambar.
Para juara dan alumnus KEM Tempo pada 30 November berkumpul di Jakarta. Gagasan mereka memberi harapan pada bangsa yang sedang sakit kini. Teringat Bung Karno pernah berkata, “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.”| HERU TRIYONO
(Dipetik dari: http://www.korantempo.com/)
Berikut adalah penjernihan dari Komunitas Ubi yang dibuat oleh Yulius Tandyanto.
Berdasarkan laporan di atas, saya merasa perlu menjernihkan beberapa hal tentang Komunitas UBI yang disampaikan Heru Triyono (Koran Tempo):
- Saya bukan penggagas Komunitas Ubi, tetapi turut membidani kelahiran Komunitas UBI bersama Efraim Sitinjak, Samuel Tumanggor, dan Viona Wijaya.
- Produk utama Komunitas UBI adalah artikel pendek sepanjang 500-600 kata.
- Komunitas Ubi meluncurkan minimal empat artikel saban bulannya.
- Kalimat “Komunitas yang dipegang oleh Yulius, Viona Wijaya, Efraim Sitinjak, dan Samuel Tumanggor ini juga menjadi salah satu jawara di KEM Tempo 2010” lebih tepat berbunyi: “Yulius—sebagai salah satu pengelola Komunitas Ubi—merupakan salah satu jawara di KEM Tempo 2010.”
- Samuel Tumanggor menulis buku-buku sebelum Komunitas Ubi lahir (tahun 2011). Dua buku yang disebut dalam laporan di atas terbit masing-masing pada tahun 2007 dan 2010. Jadi, kedua karya itu bukan “buah” dari Komunitas UBI.
- Saya meralat pernyataan:”…batangnya [ubi] bisa jadi kerangka,” dengan “batangnya dapat dimanfaatkan sebagai obat.”
Semoga memberikan gambaran tentang Komunitas UBI yang lebih akurat. Terima kasih. Salam UBI!