Oleh Ricky Prijaya
Saya bersyukur karena Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk membeli dan memasang kalender baru di rumah. Mungkin ada beberapa orang yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk itu karena ajal sudah lebih dulu menjemput. Sekali lagi, saya bersyukur, juga karena telinga saya masih dapat jelas mendengar semarak bunyi terompet di malam tahun baru.
Namun, banyak pertanyaan bertunas dalam benak saya di tahun baru ini. Mulai dari skala kecil hingga skala besar. Mulai dari yang paling egois: Akankah kesehatan saya aman-aman saja di tahun baru ini? Masalah keluarga apa yang akan muncul di tahun baru ini? Masalah pekerjaan apa yang akan mengganggu kinerja saya di tahun baru ini? Bagaimana dengan kondisi “kesehatan dompet” saya?
Pertanyaan itu berlanjut hingga yang paling altruis: Akankah angka kemiskinan negeri ini menurun? Bencana apa lagi yang Tuhan “sediakan” untuk menimpa bangsa ini? Bagaimana dengan kestabilan politik negeri ini? Berapa banyak orang yang akan mati sambil memegang perutnya yang kosong di tahun ini?
Sebagai insan yang bertemperamen melankolis-hampir-akut, pertanyaan penuh kekhawatiran seperti di atas sulit untuk saya hindari. Namun ada pertanyaan yang tak kalah mengundang rasa penasaran dalam pikiran saya: Bagaimana dengan gereja Tuhan di seluruh pelosok negeri ini? Terobosan baru apa yang akan dilakukan gereja di tahun ini? Akankah gereja Indonesia mulai unjuk gigi dan berdampak bagi masyarakat sekitar?
Sebagai orang Kristen, kita semua terjepit dalam kondisi “sudah namun belum”. Artinya, Kerajaan Allah “sudah” ada di bumi ini “namun belum” seutuhnya. Kalau boleh menggunakan gambaran lain, kita yang sudah mengalami peristiwa ajaib lahir baru, sedang menantikan peristiwa universal-akbar yang belum terjadi, yaitu penciptaan bumi yang baru. Tidak mudah untuk menjalani hidup di antara kedua peristiwa tersebut.
Dalam buku Disappointment with God, Philip Yancey menggagas suatu ide yang amat unik. Yancey berbicara tentang “Pembalikan Agung” yang akan Tuhan lakukan di muka bumi ini. Dahulu kala, saat Tuhan mengawali kisah sejarah bumi, Ia memulai dengan menciptakan “bumi dan segala isinya” lalu menciptakan manusia di hari keenam (Kej. 1:26-31). Tetapi untuk mengakhiri kisah sejarah bumi, Ia memulai dengan “melahirkan manusia baru” yang kemudian berakhir dengan penciptaan “bumi yang baru” (Why. 21:1).1
Saya berpikir, mungkinkah selama ini banyak gereja di Indonesia melalaikan pesan penting tentang “bumi baru”? Pesan itu kurang ditekankan bila dibandingkan dengan pesan tentang hidup baru bersama Yesus, membina hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus, dan rajin berdoa dan membaca Kitab Suci. Semua hal itu tentulah amat krusial, namun tidak boleh membuat kita melupakan pesan penting Kitab Suci mengenai “bumi yang baru.”
Saat Tuhan menciptakan “bumi dan segala isinya” di hari penciptaan, manusia sama sekali tidak memberi kontribusi apa pun. Uniknya, untuk “bumi yang baru”, Tuhan justru memberi kita, manusia berkaki dua yang penuh kelemahan, kesempatan untuk berkontribusi dengan karunia yang telah Tuhan percayakan.
Saya percaya bahwa tugas umat Kristen yang telah menjadi manusia baru adalah memberi masyarakat suatu “cuplikan” mengenai “bumi yang baru”. Kita butuh lebih dari sekadar doa untuk dapat memberikan “cuplikan” tersebut di tanah air Indonesia. Hati yang berkobar bagi Allah, pikiran yang tajam karena terasah oleh ilmu-ilmu pengetahuan, dan kekompakan antar sesama “manusia baru” merupakan modal awal untuk membuat “bumi yang baru” menjadi sebuah kenyataan, bukan kabar burung belaka.
Semoga di tahun baru ini, umat Kristen yang telah menjadi manusia baru tidak hanya membuat resolusi yang bersifat vertikal belaka (makin rajin berdoa, baca Alkitab, dan beribadah di gereja). Marilah kita membuat resolusi yang bersifat horizontal pula, agar kekristenan benar-benar dapat berdampak positif bagi masyarakat di sekitar kita.
.
Ricky adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Philip Yancey. Disappointment with God. Michigan: Zondervan, 1988, halaman 171.
setuju, tulisan ini menggugah sekali,