Oleh Monalisa Malelak
“Bapak kamu penjual kompas ya?” kata seorang pria memulai percakapan dengan gadis kenalannya.
“Kok tahu?” jawab sang gadis.
“Karena begitu melihat kamu, aku langsung tahu ke arah mana aku harus berjalan,” lanjut sang pria.
“Ke mana?” tanya sang gadis dengan raut wajah penasaran.
“Ke hatimu,” jawab sang pria.
Gadis itu pun tersipu-sipu mendengarnya.
Sebagai kawula muda, kita mungkin pernah mendengar, menyaksikan, atau malah mengadakan percakapan seperti di atas. Percakapan yang bernada rayuan tentu tidak ada salah dan ruginya selama itu jujur dan tulus dari hati yang sungguh mengasihi. Lain halnya apabila percakapan macam itu hanya digunakan sebagai “pancingan” untuk memuaskan hasrat yang salah terhadap lawan jenis.
Percakapan bernada rayuan dapat juga berlangsung lewat berbagai media, baik surel, pesan fesbuk, pesan singkat, maupun telepon. Rayuan-rayuan itu pun banyak versinya. Ada yang “gombal,” ada yang bernada menggoda, bahkan ada yang mengandung pesan seksual. Versi yang terakhir ini dapat membawa para lakon percakapan ke dalam hubungan kemesraan yang salah.
Hal ini mungkin sederhana tetapi sering mengelabui, khususnya bagi kita yang sedang berpacaran. Kita menyepelekan kata-kata rayuan yang dapat membangkitkan nafsu kaum muda. Kita setuju bahwa melakukan hubungan suami-istri di masa pacaran adalah salah karena melanggar norma agama dan hukum. Tetapi kita sering lupa atau sengaja melupakan bahwa rayuan dapat berakhir pada khayalan tentang hubungan itu.
Si perayu (dalam konteks Indonesia, umumnya pria) bisa saja “melempar umpan” dengan memuji bentuk tubuh kekasihnya, namun akhirnya menggiring percakapan kepada hal-hal yang lebih “intim.” Kesalahan terbesar yang sering dilakukan kawula muda (umumnya wanita) ialah “memakan umpan” itu semata-mata karena tidak ingin kehilangan sang kekasih. Padahal, sadar atau tidak, tindakan ini sebenarnya bukan membuat dirinya semakin dicintai tetapi semakin tidak dihormati.
Pertolongan pertama pada rayuan yang mengandung pesan seksual ialah berani memutuskan percakapan. Akhirilah pembicaraan yang tidak sehat itu sekalipun kekasih kita mungkin akan merajuk selama beberapa hari. Jika rajukannya berlanjut, hubungilah dia. Rayulah dia dengan rayuan positif yang penuh kasih—suatu rayuan dalam percakapan yang sehat untuk memperbaiki hubungan kita.
Isi rayuan positif itu bisa mengingatkan kembali kepada saat-saat indah bersama. Kita dapat mengatakan, “Ingatkah kamu akan acara penerimaan mahasiswa baru tahun 2008? Saat itu kulihat seorang gadis bak bidadari. Aku hanya bisa terdiam karena terpana akan pesonanya,” atau kalimat lain yang serupa itu. Asalkan rayuan itu jujur dan tidak berlebihan, niscaya kekasih kita akan memadamkan amarahnya dan hubungan kita pun akan kembali membaik.
Pertolongan selanjutnya, apabila rayuan negatif masih muncul, ialah membuat kesepakatan bersama. Sepakatilah batas-batas percakapan yang baik dan sehat, lalu berjanjilah untuk menepatinya. “Tidak akan mengungkapkan kalimat rayuan bernada seksual” adalah salah satu contoh kesepakatan sederhana yang dapat dibuat. Berat atau ringannya kesepakatan itu bergantung kepada kita sendiri. Kitalah yang memegang kendalinya. Jadilah bagai wasit yang menggenggam peluit. Kita tahu peraturannya, kapan terjadi pelanggaran, dan kapan harus menghentikan permainan!
Sebagai pesan penutup, apa pun pekerjaan bapak kita (penjual kompas atau bukan), kita harus tahu ke mana arah pembicaraan kita dalam berpacaran: kepada kekudusan.
.
Monalisa adalah seorang alumnus jurusan teknik elektro yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
.