Oleh Viona Wijaya
Sekelompok mahasiswa, terdiri dari empat lima orang, tampak asyik membahas suatu topik. Alkitab terbuka di hadapan mereka. Satu demi satu mengemukakan pendapat tanpa sungkan. Di lorong kampus, tempat makan, rumah kos, pemandangan ini makin mudah kita jumpai: pemuridan di kalangan mahasiswa Kristen!
Kelompok-kelompok kecil ini mencontoh apa yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya. Secara umum, kegiatan mereka dinamai “pemuridan”. Secara khusus, ada beberapa sebutan untuk kegiatan mereka, misalnya Kelompok Tumbuh Bersama (KTB), Pemahaman Alkitab (PA), Kelompok Sel (Komsel), dsb. Tapi pada dasarnya yang mereka lakukan serupa, yaitu bersama-sama belajar mengenal Allah.
Sebagian dari kelompok kecil itu bernaung di bawah lembaga-lembaga pemuridan yang memiliki sistem dan pola tertentu. Lembaga-lembaga pemuridan ini biasanya giat menjangkau mahasiswa Kristen untuk dimuridkan.
Pemuridan punya dampak yang sangat baik. Mahasiswa Kristen yang mengikutinya dapat menerima asupan gizi rohani dan bertumbuh dalam firman Tuhan. Mereka dibentuk menjadi orang-orang yang berani menghidupi kebenaran. Mereka dilatih menjadi “militan” dalam hal mengasihi Kristus dan melakukan firman-Nya.
Namun, di samping dampak sangat baik itu, ada juga dampak kurang baik yang mudah kita amati. Di tengah mahasiswa Kristen muncullah “kubu-kubu” berdasarkan lembaga pemuridan yang diikuti, atau bahkan berdasarkan ikut lembaga pemuridan atau tidak.
Perdebatan antar kubu pun sering terjadi, secara khusus di jejaring sosial. Banyak mahasiswa Kristen sangat tanggap terhadap perdebatan macam ini. Jumlah komentar bisa sampai puluhan, dan mayoritas pengomentar saling menyerang dan menjatuhkan pihak lain yang berseberangan pendapat.
Dalam isu mengenai pengajaran Alkitab, misalnya, mahasiswa yang dimuridkan cenderung menuding mahasiswa yang tidak dimuridkan tak kompeten untuk berbicara. Di antara mahasiswa yang dimuridkan pun terjadi perdebatan mengenai pengajaran siapa yang paling benar.
Perdebatan makin panas kalau ada satu insan yang diserang. Kawan-kawan sekubunya akan segera membela, terkadang sampai nama lembaga pun dibawa-bawa. Komentar-komentar sudah jauh panggang dari api, tapi terus saja dilontarkan. Di titik ini, perdebatan sudah tak berfaedah bagi pihak-pihak yang terlibat.
Nanti, perdebatan baru usai setelah semua pihak kelelahan. Kalau kekuatan sudah kembali, perdebatan mungkin saja diteruskan lagi. Panasnya perdebatan sering pula membekas di hati. Akibatnya, dalam hidup sehari-hari, tak jarang para mahasiswa Kristen beda kubu itu merasa enggan bergaul apalagi bekerja sama.
Hal ini tentu berbahaya, sebab mereka sama-sama mengaku sebagai pengikut Yesus. “Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa,” kata Yesus, “dan setiap kota atau rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan” (Matius 12:25).
Ketika mahasiswa Kristen terpecah karena soal dimuridkan/tidak atau pengajaran sama/tidak, pergerakan mahasiswa Kristen bagi kebaikan bangsa tidak akan kuat. Mahasiswa Kristen harus bersatu, namun hal ini bukan berarti bahwa pandangan kita harus selalu seragam.
Perbedaan pandangan adalah hal yang lumrah dan perdebatan tidak selalu harus dihindari. Tetapi Kisah Para Rasul 15:1-23 menunjukkan bahwa yang terpenting dalam menghadapi perbedaan (dan perdebatan) adalah sikap rendah hati dan terbuka terhadap pendapat orang lain.
Sikap merasa diri/kelompok sendiri paling benar harus disingkirkan. Paulus mengingatkan kita, “Pengetahuan kita tidak lengkap …” (1 Korintus 13:9). Tidak ada satu pun dari kita yang pengetahuannya sudah “sempurna” sehingga paling berwenang menghakimi yang lain.
Karena itu “baku hantam” antar mahasiswa Kristen dalam menyikapi perbedaan pandangan adalah tindakan keliru dan pastinya mendukakan hati Allah. Sebagai calon intelektual, mahasiswa Kristen seharusnya menyibukkan diri untuk saling asih-asah-asuh, bukan saling tuding, apalagi saling menjatuhkan.
Janganlah sia-siakan energi untuk perdebatan sengit yang hanya berujung pada perpecahan. Lebih baik kita kedepankan diskusi mengenai permasalahan yang dihadapi bangsa. Galakkanlah perancangan strategi untuk kebaikan tanah air! Kemudian, mari bertindak bersama untuk menyingkirkan kegelapan yang menghantui negeri ini.
Demikianlah pemuridan seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan. Sekat-sekat yang terbangun di antara mahasiswa Kristen harus mulai diruntuhkan dengan kerendahan hati dan kasih. Keluarlah dari kubu-kubumu, wahai pengikut Kristus! Satukanlah kekuatan dan bergeraklah seirama demi kebaikan bangsamu!
.
Viona Wijaya adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Hi Ona,
Kurasa kalau kau buat tulisan ini di FB lalu mencolek mereka yang kau perhatikan sering saling serang kurasa bagus juga.
Tulisan yang bagus
^^
Hai Kak Moren 🙂
Usul kakak menarik juga… Sekalian nanti kita lihat apakah setelah baca tulisan ini masih pecah karena (kubu) pemuridan atau tidak ya hehe 🙂
setuju. non-konformitas, the radical disciple.
Ada suatu pertanyaan yang terlintas dalam benak saya, bagaimana dengan mereka yang mempunyai visi yang berbeda? Bisakah mereka bersatu?
Sang Pemberi visi-yang-berbeda itu satu toh, tidak jamak? Pasti mengacu/menuju pada satu tujuan pula 🙂 saling mengisilah visi-yang-berbeda itu.
Sebelumnya salam kenal!