Goberisme Gereja

Oleh Rudy Tjandra

Setiap tahun Majalah Forbes selalu memeringkat tokoh paling kaya di dunia, baik tokoh nyata maupun fiksi. Tahun 2011, tokoh fiksi yang berkekayaan paling banyak adalah Paman Gober Bebek, sama seperti beberapa tahun sebelumnya.

Paman dari Donal Bebek ini memiliki nama asli Scrooge McDuck. Ia adalah tokoh fiksi ciptaan Carl Bark di tahun 1946. Sayangnya, dengan kekayaan melimpah, ia mempunyai sifat yang terlalu hemat dan cenderung pelit. Ia selalu menumpuk harta untuk dirinya sendiri tanpa mau berbagi dengan orang lain, bahkan keluarganya.

Saya kira Paman Gober juga mencerminkan satu hal yang nyata dalam kehidupan—gereja. Ya, saya melihat adanya paham baru yang dianut oleh banyak gereja, besar atau kecil. Kita bisa menyebutnya Goberisme. Gereja yang menganut Goberisme menunjukkan sifat-sifat yang kurang lebih sama dengan tokoh Paman Gober.

Goberisme mengabaikan pentingnya perintah terutama-kedua dari Hukum Kasih, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39), yang seharusnya seimbang dengan perintah terutama-pertama, “kasihilah Tuhan, Allahmu” (Mat. 22:37). Kalau tidak, Goberisme menempatkan penekanan perintah terutama-kedua itu hanya pada “seperti dirimu sendiri” sambil tetap mengabaikan kata-kata “kasihilah sesamamu manusia.”

Saya mengamati ada yang kurang dari gereja-gereja penganut Goberisme, yaitu penekanan ajaran yang punya dampak pada pendanaan dan kegiatan tanggung jawab sosial. Khotbah-khotbah yang mereka sampaikan biasanya sangat jarang mengangkat topik yang berhubungan dengan anak jalanan, pengemis, orang gila, atau kebutuhan orang miskin lain di luar gereja.

Yang sering diangkat adalah topik tentang keselamatan, berkat, pelayanan, atau budaya-budaya gerejawi. Kalaupun ada, topik tanggung jawab sosial gereja akan disampaikan tanpa penggalian Firman yang mendalam, atau sebagai formalitas belaka.

Penekanan yang tidak utuh terhadap Hukum Kasih membuat pemahaman jemaat jadi tidak menyeluruh dan perintah terutama-kedua jadi terabaikan. Pengabaian ini dapat dilihat dari penggalangan dana yang lebih condong kepada pemenuhan kebutuhan gerejawi—misalnya mengganti peralatan sistem suara dengan yang lebih hebat, menambah ruang atau barang-barang tanpa guna maksimal—daripada pemenuhan tanggung jawab sosial (diakonia) gereja.

Secara otomatis lebih banyak kegiatan gerejawi—persekutuan tinggi biaya, konser unjuk bakat, retret mewah fasilitas, dan sebagainya—daripada kegiatan sosial. Acara gerejawi yang banyak itu hanyalah terbatas pada kalangan sendiri dan umumnya berisikan penekanan yang sama. Sementara itu, di balik tembok gereja masih banyak orang miskin yang berteriak minta tolong tanpa jawaban. Mereka seperti berteriak pada tembok.

Perintah terutama-pertama memang harus terus ditekankan, tapi bukan dengan mengabaikan perintah terutama-kedua. Gereja harus selalu menekankan keduanya secara seimbang. Yesus sendiri menegaskan keseimbangan ini ketika berkata, “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu …” (Matius 22:39, tekanan oleh saya).

Saya mendengar tentang satu gereja yang tidak menganut Goberisme. Gereja ini terletak di salah satu kota besar di Banten. Tanggung jawab sosial yang mereka laksanakan benar-benar menjawab kebutuhan orang-orang di balik tembok gereja. Mereka menghimpun orang-orang gila di kotanya dan “mengubah” mereka satu per satu.

Orang-orang gila yang tidak pernah mandi, dimandikan. Dakinya yang tebal disikat. Rambutnya yang gimbal dipangkas dan dicuci. Kuku-kukunya yang panjang dan kotor digunting. Dengan kuasa doa, keajaiban pun terjadi: mereka dipulihkan dan kembali waras.

Bahkan tanggung jawab sosial yang mereka laksanakan membuat pemerintah kota “bingung” akan hilangnya orang-orang gila di jalanan. Sekarang banyak dari orang-orang gila itu yang sudah bekerja di perkebunan atau pabrik, dan sebagian sudah kembali kepada keluarganya. Allah Mahabesar!

Sangat mengharukan sekaligus membanggakan, bukan? Namun itu hanyalah contoh dari satu gereja dan belum bisa kita katakan, “Gereja-gereja telah melakukannya.” Sesuai dengan panggilan gereja untuk menjadi berkat, tindakan-tindakan yang nyata perlu dilakukan gereja untuk mendobrak paham Goberisme. Penekanan kembali pada keseimbangan Hukum Kasih sangat diperlukan.

Mari, Gereja Indonesia, satukan barisan, derapkan langkah, dan dobrak paham Goberisme!

.

Rudy adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

2 thoughts on “Goberisme Gereja

  1. Puansari Siregar

    Hai Rudi, pertama sekali salam kenal dariku:) Aku suka istilah “goberisme”. Jenius! haha… Tak terpikirkan sebelumnya:) Gereja harus terus mawas diri! Terus berjuang menghayati panggilannya: utk menyatakan terang. Aku pakai kata “berjuang”, karena gereja -disadari atau tidak, disengaja atau tidak- bisa jatuh dalam goberisme.

    Terimakasih utk tulisanmu, Rudi!
    Gbu

    Reply
  2. Victor Samuel

    Hai Rud!

    Aku perlu belajar nih darimu bagaimana menghubung-hubungkan banyak hal–dari tugas gereja sampai tokoh komik Donal Bebek–menjadi tulisan yang padu.

    Maju terus ya kawan seangkatan! Ditunggu tulisan-tulisan berikutnya =)

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *