Oleh Viona Wijaya
“Indonesia adalah bangsa yang plural.” Demikian ujar guru kami saat pelajaran Kewarganegaraan di SMP. Murid-murid di kelas kami, hampir semua berkulit kuning dan bermata sipit (tak terkecuali saya), mencatat perkataannya tanpa merasa perlu bertanya.
Keragaman suku bangsa di Indonesia dapat kami lihat di buku pelajaran. Ada yang berambut keriting, berkulit hitam. Ada yang bermata besar, berkulit sawo matang. Ada yang beribadah di mesjid, gereja, pura, dan wihara. Buku itu mengatakan bahwa semua hidup damai dalam keragaman.
Pelajaran tentang kemajemukan (pluralisme) di Indonesia adalah topik yang terus diulang sejak SD, SMP, SMA, hingga bangku kuliah. Semua orang tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Tapi, masalahnya, apakah kita merasakan langsung kemajemukan itu?
Dalam kisah saya di atas, siswa kelas kami hampir semuanya berkulit kuning dan bermata sipit—homogen. Alhasil, Indonesia sebagai bangsa yang beragam dan hidup dalam toleransi hanya sekadar ada di bayangan kami. Kelak, kebanyakan dari kami malah gagap ketika harus berhadapan dengan keragaman.
Sebagai seorang Tionghoa, saya mengamati—dan mengalami sendiri—bahwa sering kali anak-anak Tionghoa dimasukkan orang tuanya ke sekolah yang homogen (mayoritas satu suku dan/atau satu agama). Sekolah swasta jadi pilihan utama. Jarang sekali ada orang tua Tionghoa yang sejak awal berniat memasukkan anaknya di sekolah negeri. Sekolah negeri, kita tahu, umumnya memiliki siswa yang lebih beragam latar belakang suku, agama, dan budayanya.
Jika seorang anak Tionghoa masuk ke sekolah/universitas negeri, ia sering kali ditanyai temannya dengan nada heran, “Kenapa memilih masuk sekolah negeri?” Orang tuanya pun tak luput ditanyai hal serupa oleh rekan mereka, “Kenapa anakmu dimasukkan ke sekolah negeri?”
Kecenderungan orang Tionghoa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah homogen berkaitan dengan sejarah pendidikan orang Tionghoa di Indonesia. Di zaman Belanda1 maupun di era kebangkitan Nasionalisme Tiongkok,2 orang Tionghoa memiliki sekolah tersendiri bagi kaumnya. Akibatnya, kaum Tionghoa terbiasa “terpisah” dari kaum yang lain.
Selanjutnya, tindakan diskriminatif di era Orde Baru makin memperkeruh keadaan. Orang Tionghoa enggan memilih sekolah negeri karena takut anak-anaknya mendapat perlakuan diskriminatif. Sekolah “homogen” akhirnya menjadi pilihan utama, hingga saat ini.
Sekolah-sekolah homogen sebetulnya memiliki kelemahan-kelemahan yang, jika dibiarkan, dapat membahayakan bangsa. Lingkungan pergaulan (di sekolah) homogen akan membuat para siswa hanya memiliki bayangan tentang masyarakat Indonesia yang hidup bersatu dalam keragaman, namun tak pernah mengalami hidup yang demikian. Toleransi, hidup dalam keragaman, hanya ada dalam bayangan saja, tidak dalam pengalaman nyata.
Mereka juga mudah memiliki bayangan bahwa orang dari suku X adalah seperti ini, atau orang dari agama Y adalah seperti ini, padahal dalam kenyataan mereka jarang bersentuhan langsung. Jika bayangan-bayangan tersebut keliru, tak mudah mencari ruang untuk meluruskannya. Hal ini dapat menjadi sumber konflik di kemudian hari.
Oleh karena itu sekolah-sekolah homogen perlu menyiasati agar lingkungan pergaulan yang homogen tak serta merta membuat para siswa gagap terhadap keragaman. Melalui rupa-rupa kegiatan, para siswa secara berkala perlu diajak “keluar” dari lingkungan homogen untuk mengecap keragaman dan belajar menyikapi perbedaan.
Sebagai contoh, beberapa sekolah homogen menyelenggarakan kegiatan yang mengharuskan para siswa tinggal bersama masyarakat yang berbeda latar belakang suku, agama, dan budayanya, misalnya masyarakat pedesaan. Mereka harus mengikuti cara hidup masyarakat tersebut dan ikut bekerja dengan keluarga yang menampung mereka di sana. Lewat kegiatan ini, Indonesia yang awalnya hanya ada dalam bayangan dapat mewujud nyata.
Sekolah-sekolah kita memang harus memberikan ruang kepada siswanya untuk mengembangkan kemampuan menyikapi perbedaan dengan benar dan bergaul tanpa membeda-bedakan orang. Kemampuan ini tidak akan muncul begitu saja. Siswa harus dilatih untuk mengalami dan menghadapi kemajemukan dalam kenyataan, bukan dalam bayangan belaka.
Pada akhirnya, pendidikan harus mampu membuat semua orang Indonesia, termasuk yang berkulit kuning dan bermata sipit, benar-benar merasa sebagai bagian dari Indonesia yang majemuk.
.
Viona Wijaya adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Belanda membuat sekolah khusus bagi orang Tionghoa, yaitu Hollandsche Chineesche School (HCS), dan orang pribumi, yaitu Hollandsche Inlandsche School (HIS). Lihat Leo Suryadinata. Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
2 Nasionalisme Tionghoa di Hindia-Belanda bermula tahun 1900 dengan berdirinya Tionghoa Hoa Kwee Koan (THHK, yaitu Perkumpulan Orang Tionghoa) di Jakarta. THHK kemudian mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Mandarin untuk orang Tionghoa di Hindia-Belanda.